Senin, 14 September 2009

Bahagia dan Sedih


Dimuat di Harian Metro Riau (Minggu 5 Juli 2009)

Sudahkah kita bahagia dalam hidup ini? Atau teruskah kita ditekan kesedihan dalam kehidupan ini? Kebahagiaan terkadang sangat tipis batasnya dengan kesedihan. Seseorang dikatakan bahagia dan sedih bisa dilihat dari raut wajahnya. Namun kalau ditanya dalam diri kita dalam hidup ini; banyak bahagia atau lebih banyak sedihnya. Tentu kita akan mengatakan banyak sedihnya.
Terkadang ketika kita naik kelas, naik pangkat atau jabatan, diterima kerja di sebuah perusahaan atau instansi, mendapatkan isteri yang baik, mendapatkan anak, mendapatkan rezeki uang berlebih dan lain sebagainya, kita merasa bahagia. Kita merasakan nyamannya hidup ketika mendapatkan semua itu. Bahkan kebahagiaan yang baru saja kita terima itu tidak pernah kita syukuri, malah yang timbul adalah sifat masih kurang. Hidup kita selalu saja dikungkung rasa kekurangan.
Kebahagiaan yang diberikan kepada kita itu masih saja ada yang kurang. Terus kekurangan inilah menjadi ukuran seseorang itu bahagia atau tidak. Walaupun kita telah mendapatkan berkat-berkat yang kita cita-citakan tetapi rasa bahagia kita masih belum lengkap bila ini dan itu belum terpenuhi dan tercapai. Kita sudah mulai mencinta harta benda, yang menganggap semuanya itu mampu membahagiakan kita. Kita sudah menjadi makhluk yang cinta uang yang sangat dibenci Tuhan kita Yesus Kristus.
Kebahagiaan biasanya dihitung berapa banyak yang telah kita cita-citakan mampu terpenuhi. Kebahagiaan menjadi sebuah ukuran seseorang itu memperoleh kesenangan hidup. Sebab di tengah-tengah kebahagiaan itu masih ada ukuran. Hal ini lantaran sebagai manusia kita tidak pernah merasa puas.
Kebahagiaan terkadang bertubi-tubi datangnya, tetapi tidak pernah kita syukuri karena masih tetap kurang. Namun terkadang kebahagiaan malah tidak mau singgah pada kehidupan kita. Demikian juga dengan kesedihan terkadang datangnya beruntun. Belum hilang rasa sedih ini sudah menunggu rasa sedih itu. Kita tidak pernah melakukan introspeksi diri dan memperbaiki hidup yang kudus. Malah kita menjadi mengutuki diri sendiri akibat kesedihan yang menindih hidup kita begitu bertubi-tubi.
Ada orang lain yang bisa membuat kita bahagia. Baik itu pasangan, sahabat, uang, atau bahkan hobi. Semua itu tidak bisa membuat kita bahagia. Karena yang bisa membuat kita bahagia adalah Tuhan dan pilihan diri kita sendiri.
Kalau kita sering merasa berkecukupan, tidak mempunyai perasaan minder, selalu percaya diri, maka kita tidak akan merasa sedih. Sesungguhnya pola pikir kita yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar.
Contohnya Rasul Paulus. Ketika itu Rasul Paulus sedang dihimpit oleh keadaan. Ia disiksa dan dipenjara, ditolak kanan kiri. Tapi coba lihat surat-suratnya. Apakah berisi keluh kesah? Justru sebaliknya!
Sebagian besar surat-surat Paulus justru berisikan motivasi, berita gembira dan inspirasi. Rasul Paulus bahagia. Meskipun keadaan sekelilingnya bisa membuatnya tidak bahagia, namun ia memilih untuk berbahagia.
Bahagia atau tidaknya hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa kaya, seberapa cantik istri, atau suksesnya hidup kita. Ini masalah pilihan: apakah kita memilih untuk bahagia atau tidak. Kita bisa mengendalikan diri kita sendiri dalam memilih respon yang akan kita berikan terhadap kondisi luar.
Bahkan terkadang kita malah lebih picik lagi dengan merasa bahagia melihat penderitaan orang lain. Kita merasa puas bila saingan kita dalam kerja mendapatkan masalah, kita merasa sangat bahagia bila kita lebih kaya daripada orang lain. Kita pun merasa bahagia bila melihat tetangga dan orang di sekitar kita mengalami kesulitan hidup.
Hal ini merupakan rasa bahagia yang salah. Namun tidak bisa kita pungkuri dalam hidup ini bahwa terkadang kita memang merasa sangat bahagia melihat orang-orang di sekitar kita menderita.
Lain lagi dengan seseorang dikatakan setelah berumah tangga bahagia. Menikah adalah saat indah yang ditunggu-tunggu orang. Apalagi jika menikah dengan orang yang tepat, kebahagiaan terasa lengkap.
Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan berita media massa tentang seorang mantan model cantik yang melarikan diri dari suaminya, yang notabene seorang bangsawan Kerajaan Malaysia. Seorang suami yang memiliki kekayaan berlimpah yang sudah tentu dipikiran kita bakalan senang dan bahagia dalam hidup. Ternyata berlainan, kebahagiaan bukan ditentukan oleh harta benda, kebahagiaan bukan ditentukan oleh kecantikan dan ketampanan. Hal ini menjadi berita yang menghebohkan.
Banyak orang ingin menikah dengan orang yang sukses, kaya dan berdarah biru dengan harapan memiliki masa depan yang mapan, terjamin dan nyaman. Bahkan ini menjadi ukuran kebahagiaan beberapa wanita bila akan dinikahi lelaki.
Tetapi tidak semua keinginan kita bisa terpenuhi. Apa yang menurut kita terbaik belum tentu benar-benar yang terbaik. Kenyataan bisa tidak sesuai dengan harapan. Bahkan kenyamanan mantan model tersebut justru diperlakukan layaknya "properti" sang suami.
Bahkan menurut pengakuannya di beberapa media, ia kerap disiksa secara mental dan fisik. Hal-hal itulah yang membuatnya melarikan diri dari suaminya. Orang yang dikira kekasihnya justru menyakitinya. Sangat pedih dan menyayat hati. Kebahagiaan yang dulu sempat diimpi-impikan pasangan model ini ternyata hanya berisi kesedihan dan kepahitan semata. Tidak pernah terlintas dipikiran akan berakhir seperti ini. Apalagi keduanya merupakan orang-orang terhormat. Hal inilah yang membuat benang merah antara bahagia dan sedih itu.
Sementara di sisi lain, sebuah kesaksian yang mengalami pelecehan dari isteri dan keluarga isterinya. Dalam rumah tangganya selalu ada ketidakcokcokan, sering cekcok dan sering caci maki yang menghiasi hari-harinya.
Si istri tidak tunduk kepada suaminya, seperti tertulis di Alkitab, malah menjadi yang berkuasa dari suaminya. Kata-kata orang tuanya membuatnya tersesat dan akhirnya kebahagiaan rumah tangga itu rubuh akibat pondasi keras kepala yang dimiliki si isterinya tersebut.
Kebahagiaanya bila mampu menekan suami, kebahagiaannya bila melihat suami menderita, kebahagiaannya bila bisa memisahkan keluarga besar suaminya. Ia sangat senang melihat seluruh keluarga suaminya menderita.
Si isteri pun dalam hidupnya memiliki konsep hanya ingin menerima dan tidak mau memberi. Pada hal konsep kebahagiaan si suami adalah hendaknya lebih banyak memberi dalam hidup ini. Kesederhanaan hidup dan ketidak-sombongan yang dicita-citakan si suami tenggelam dan akhirnya keluarga itu hancur berantakan.
Ternyata kebahagiaan itu sangat tipis bedanya dengan kesedihan. Menikah memang merupakan kebahagiaan, namun di balik semuanya itu sedang menunggu kesedihan bagi sebagian kita. Atau lantaran kita kurang membuka diri dengan orang di sekitar kita sehingga kebahagiaan itu tidak pernah kita syukuri. Hanya melihat berdasarkan kaca mata individu.
Kesedihan bisa menular dan menurunkan semangat orang lain, apa lagi jika yang sedih itu adalah pemimpin. Kita tidak bisa memungkiri bahwa respon kita terhadap kesedihan mempengaruhi orang lain, apakah itu akan melemahkan atau membangkitkan semangat orang lain.
Beban berat itu bisa dipikul. Bagaimana caranya? Pertama, kita membutuhkan teman yang benar-benar jujur dan bisa mendorong kita untuk berjalan maju dalam hidup ini. Teman-teman seperti ini perlu waktu untuk ditemukan, dan jika sudah ada, hubungan itu harus dipelihara. Apakah kita sudah mempunya teman seperti itu?
Kedua, kita membutuhkan sang Penyelamat yang bisa diandalkan. Setiap orang tidak mungkin bisa memahami dan menjalani beban yang berat tanpa bantuan Tuhan. Ketiga, kita membutuhkan keyakinan yang tidak bisa digoyahkan apapun.
Ukuran kebahagiaan bukanlah pada sebuah benda yang sangat ingin kita miliki akhir-akhir ini? Benarkah kita sangat memerlukannya atau sekadar ingin punya? Bisakah kita hidup bahagia tanpanya? Memiliki harta benda tidaklah salah, tetapi jangan biarkan ia memiliki kita. Jangan sampai kepuasan dan kebahagiaan hidup kita ditentukan olehnya.
Sebagai bahan renungan minggu ini tertulis pada, 1 Timotius 6:8-10; “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar dari segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka (kesedihan).” Tuhan memberkati. ***
Erwin Hartono, S.Pd
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

0 komentar: