Kamis, 25 Desember 2008

Karier Politik


Masuk ke kancah dunia politik sebab ingin mengubah paradigma selama ini yang mengatakan politik itu jahat. Sebanarnya paradigma ini lantaran banyak kepentingan dan persaiangan yang mengarah menghalalkan segala cara. Memang dunia politik terkadang tidak sesuai dengan seseorang yang masih memegang paham konsistensi, apalagi memiliki bakat mengarang (penulis) karya fiksi sastra.

Dunia kesenian, Sastra tidak sesuai dengan politik. Penuh kebebasan, kritik, kemanusiaan, dan keadilan. Sementara politik terkadang mengabaikan ini. Hal ini saya rasakan, di mana melihat ambisi yang tidak diimbangi dengan moral dan keberpihakan kepada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan membuat saya menerobos ini lewat satu tekad, bahwa kita tidak akan pernah tahu dan merasakan jika tidak memasukinya. Minimal hal ini bisa jadi bahan karya tulis dalam dunia bersastra, maka dari itu saya tertarik ingin menguji pengalaman di kancah dunia politik.

Menjadi anggota dan pengurus dibeberapa partai, seperti partai Bhineka Tunggal Ika, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Ketua partai PNI Massa Marhaen Pekanbaru, dan menjadi Caleg dari Partai Merdeka (41) pada Pemilu April 2009 ini. Semoga masyarakat mendukung dan mempercayakanya. Untuk memperjuangkan hak-hak tertindas, seperti memperjuangkan dan   memerdekan dari pemerasan, memperjuangkan nasib guru, memperjuangkan pendidikan murah.

Siapa lagi yang memperjuangkan nasib guru kalau bukan dari guru sendiri. Sebab caleg dari gurulah yang tahu nasib guru dan dunia pendidikan kita. Kenapa selama ini pendidikan itu mahal, karena yang memperjuangkan dunia pendidikan itu tidak sesuai dengan kapasitasnya sebagai pendidik yang tahu betul di mana letak mahal selama ini. 

Jadi pilihlah wakil rakyat yang tahu keinginan masyarakat guru, masyarakat pelajar dan masyarakat tertindas. Semoga dengan memilih caleg dari figur guru, Pekanbaru berjaya.

Pilihlah:

Erwin Hartono, S.Pd

Caleg No 3 dari Partai Merdeka

Senin, 15 Desember 2008



Visualisasi Puisi Teaterik Natal 2008



Sanggar Teater Kemilau Kalam Kudus Mempersembahkan
Lilin Pengharapan


(Karya: Erwin Hartono)



Skenario I (cekcok atau bertikai)
1. Saudara-saudara, ketika damai di hati begitu sulit diraih.
Ketika caci maki tak mau pergi.
Ketika ketulusan hati jauh dari nurani.
Ketika benci dan dengki silih berganti.
Menyapa insan yang berdosa.

Skenario II (Suasana gembira sambut natal)
2. Hari ini, kegembiraan menyelimuti hati kita semua.
Tatkala fajar menyapa hati dan nurani kita secara pribadi.
Lorong yang panjang sunyi sepi jadi terang benderang.
Ketika lonceng gereja bersahutan menegur jiwa dan raga.
Sebagai pengingat akan waktu yang terus berganti.
Mengiringi putaran bumi sebagai planet berpijak.
Menyelimuti waktu yang silih berganti.



3. Saat ini, ketika kebahagiaan menyatukan kita.
3. Dalam perayaan kudus.
3. Bersama-Nya kita diselamatkan.
3. Secara bersama-sama bersatu dalam lilin pengharapan.
3. Dalam sinar lilin penerang hati.
3. Dalam semangat kebaikan dan kedamaian.
3. Menyinari kita di tengah-tengah kegelapan.



3.1 Sungguh indah Tuhan.
3.1 Menciptakan jagat raya.
3.1 Menciptakan manusia.
3.1 Memberi kami ayah dan bunda.
3.1 Yang jadi teladan anak-anak.
3.1 Oh terima kasih Tuhan.
3.1 Engkau berikan pendamai di hati kami.
3.1 Engkau hadirkan penyelamat kami.
3.1 Yesus Tuhan.

Skenario III (wah indahnya damai, indahnya kemerdekaan, indahnya ciptaan Tuhan, Terima kasih Tuhan engkau berikan ayah dan ibu yang baik kepadaku, terima kasih tuhan atas perlindunganmu dalam setahun ini, kalaulah kedamaian di hati ada di setiap pribadi kita tentulah usia bumi ini semakin awet)
4. Kini dalam kedamaian hati.
Kita bersama-sama melihat tabir kehidupan.
Yang membentang luas di cakrawala jagad raya.
Dengan kidung pujian kita lantunkan.
Menyambut kelahiran sang penyelamat.
Dengan khidmat kita kumandangkan.
Doa pengampunan.
Doa pengharapan.
Kedamaian di jagat raya.




5. Awan kelam yang menguasai hati
5. Segala sepi
5. Segala dengki - segala iri – segala benci
5. Segala dendam - segala dusta
5. Hilang sirna
5. Sambut kehadiran Tuhan
5. Dalam hening malam sepi....... malam sepi...... malam sepi

Laguuuuuuu Malam kudus .............

Skenario IV Monolog (membicarakan kemalangan dan kemiskinan)
6. Saudara-saudara, saat ini kita berkumpul dalam kegembiraan.
Janganlah kegembiraan ini berlalu sampai di sini.
Kita bungkus balut kebahagiaan ini.
Kita berikan kebahagiaan ini.
Bersama keluarga kita masing-masing.
Bahwa Mesias Sang Penyelamat telah datang meyapa kita.



7. Mari kita persembahkan hati kita
7. Bersama keluarga kita menyambut hari esok.
7. Hari yang penuh pengharapan.
7. Mari kita hilangkan dendam di antara kita
7. Untuk masuki hidup yang baru bersama Kristus



8. Sebab Yesus lahir ke dunia ini
8. Adalah lilin permohonan ampunan
8. Lilin pengharapan
8. Lilin Penerang hati dan jiwa
8. Penerang bagi dunia kegelapan
8. Yesus datang menyapa umat manusia
8. Hanya untuk menguduskan dan menyelamatkan hidup kita.
Semua Selamat hari natal dan tahun baru.....


Priscilla
Shirly
Febby
Ingrid
Liviani
Celina
Yohanes
Vincent
Juson



Dengan Semangat Natal Damai Dihati Kita Tingkatkan
Selamat Natal 25 Desember 2008
&Tahun Baru 1 Januari 2009


Biografi Erwin Hartono


Ketika kuliah, bergabung dengan sanggar teater “Bengkel Teater Bersama” (BTB) Taman Budaya Riau. Kini menjadi guru di Yayasan Kalam Kudus Pekanbaru. Mengelola Sanggar Teater Kemilau Kalam Kudus. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, artikel sosial dan essay kebudayaan telah diterbitkan di sejumlah media massa, antara lain, Riau Pos, Majalah Budaya Sagang, Riau Mandiri, Riau Express, Metro Riau, Bahana Mahasiswa Unri dan Mingguan Sinar. Selain itu, pernah memenangkan sayembara penulisan Kritik Sastra di Dewan Kesenian Riau sebagai Juara III (2001) dengan judul kritik: “Reformasi Pelacur” dalam karya Eddy Ahmad RM.
Karya-karya yang telah dibukukan berupa: Antologi Puisi bersama “Lima Wajah” (Unri Press 2002). Antologi Cerpen bersama “Terbang Malam” (Yayasan Sagang, Pekanbaru 2002). Antologi Puisi Rohani (Tirta Kencana 2004) dan Antologi Cerpen bersama “Satu Abad Cerpen Riau” (Yayasan Sagang 2004). Penyusun Buku Kumpulan puisi “Kemilau Emas di Bangku Sekolah” (Yayasan Kalam Kudus Indonesia 2006), Penyusun buku kumpulan Puisi dan Cerpen “Fajar Gemilang di Bangku Sekolah” (Yayasan Kalam Kudus Indonesia 2007). Penyusun buku kumpulan Puisi dan Cerpen “Mutiara Berkilau Terangi Masa Depan” (Yayasan Kalam Kudus Indonesia 2008).Menjadi editor sejumlah buku, di antaranya: “Etnis Cina: Antara Mengangkat Batang Terendam dan Lahan Pemerasan” (Nyoto, Unilak Press 2002), “Rekonstruksi Problematika Minoritas Tionghoa di Indonesia: Berbagai Kasus, Inpres, Keppres, Undang-undang dan Peraturan Diskriminasi” (Nyoto, Unri Press 2002), “Si Anak Tiri Republik: Fenomena Kehidupan Sosial Politik” (Nyoto, Unri Press 2005).

Selasa, 09 Desember 2008

puisi ini sudah diterbitkan di surat kabar Riau Mandiri

Pondasi Ambruk

Ketika wangi
Berubah jadi
Sandi
Ketika wangi
Melukai di hati
Mengoyak-ngoyak
Pada luka yang bernanah
Patahlah sayap
Pondasi yang selama ini
Dibangun
Dipertahankan dengan benang cinta
Menali kasih sejuta rindu
Sirna di dahan-dahan
Hingga ranting-ranting
Yang tak sanggup
Lagi menahan terpaan badai
Silih berganti
Dalam kata-kata
Basimu
Yang melukai lukaku
Terima kasih
Sejuta kasih
Selamat tinggal kenangan.

Pekanbaru, Agustus 2008



Kenangan yang Sirna

Teringat aku akan kenangan itu
Yang menghantarkan kita
Mendayung bersama
Dalam menentang badai
Kehidupan nyata ini
Namun, engkau telah lupa
Diri bahwa kehidupan
Mesti dirajut dengan sesama
Sebab kita tercipta
Untuk berbagi
Sebab kita tercipta
Untuk memberi
Bukan untuk sendiri
Ketika ingatanku teringat
Akan kata-kata terlontar
Dari mulutmu
Dalam menerima keberadaanku
Saat itu hanya keindahan
Yang kita rajut
Hanya sebentar
Hanya sedikit waktu kehidupan bersama
Sebab engkau
Telah menyimpang dari dasar
Dari sendi-sendi
Yang masih ada di masyarakat
Sungguh aku masih teringat
Akan ucapan petuah
Orang-orang tua
Dalam mengantarkan
Kita ke gerbang
Kehidupan nyata
Namun, sirna sudah
Bahagia itu
Ditelan keegoisan
Ditelan keras kepala
Di telah iri dan dengki
Sungguh aku tersimpuh
Pada nadir kehidupan.
Pekanbaru, September 2008



Mawar Hati

Sehari kehidupan kita
Banyak badai yang engkau terpakan
Sehari keindahan kita
Banyak noda kotor dari mulut
Yang terlontar hanya menyakiti
Hati ini
Masih ada batas kata-kata
Hati ini
Punya rasa dan perasaan
Kenapa mesti menyakiti
Kenapa mesti terlontar juga
Kemudahan kata-kata
Tanpa pertimbangan
Dari mulut manismu
Sehari kehidupan kita
Engkau gores dengan amarah
Yang setiap saat meledak
Sepanjang roda berputar
Hanya tersisa caci-maki
Yang tertinggal hinaan
Hari-hari yang indah
Masih panjang untuk digapai
Tetapi karena hati
Masih punya rasa
Lepas sudah mawar hati.

Pekanbaru, September 2008


Mencari Bintang

Dengarlah wahai bintang-bintang
Yang bisu setiap malam
Dalam tangis derita kami
Dalam deretan puisi
Yang sanggup bangkit
Hanya lewat kata-kata
Tak pernah lagi
Rasa menghargai
Menerpa diri
Pernah juga kucoba
Mencari wujudmu
Di antara bintang-bintang
Yang ditutupi awan kelabu
Tapi hanya caci maki
Yang dipersembahkan
Hanya iri dan dengki
Yang dikumandangkan
Dalam memandangku
Tak lebih
Dari hinaan
Di antara kata-kata indah dulu
Engkau kubur dalam diri yang egois
Kucari bintang
Untuk menerangi hidup
Namun hanya kekecewaan
Yang membalut dukaku.

Pekanbaru, September 2008

Cerpen (cerpen ini sudah diterbitkan di Koran Riau Mandiri)

Omelan
Karya: Erwin Hartono

Malam sesepi ini masih juga aku mendengar omelan yang terkadang menyayat hingga ke hati yang paling dalam. Sementara tetangga di kiri kanan rumahku sudah terlelap dalam mimpi indah mereka di dalam peraduan yang semakin larut. Masih panjangkah omelan ini mempermainkan tidurku. Masih lamakah berhentinya.
Tiba-tiba hening yang kudengar. Kucoba untuk menutup mata. Sungguh tenang malam ini yang terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan. Sepertinya para jangkrik itu tengah berpesta malam. Namun lama-lama aku kembali terusik, suara-suara jangkri itu sudah seperti suara manusia.
Lagi-lagi aku mendengarkan omelan dari para jangkrik itu. Kenapa bukan manusia saja yang mengomel. Kini si jangkrik pun dari balik kegelapan malam yang jauh di bawah tanah saja mengomel tidak karuan.
Bahkan omelan itu sudah bercampur dengan carutan, cacian, dan hujatan. Semakin lama bukannya semakin berkurang, namun semakin kecang saja omelan itu. Gerah juga aku dibuat omelan si jangkrik. Akhirnya malam itu aku begadang alias tidak bisa tidur. Pada hal besok pagi-pagi benar aku harus sudah bangun. Karena sebagai guru, kami diajari disiplin datang ke sekolah.
Suasana pagi di sekolah kulihat berbeda dari hari biasanya. Banyak orang bergerombolan, bertumpuk-tumpuk seperti membagi sembako. Sebagian lagi duduk berkelompok-kelompok.
Kucari teman-temanku, namun tidak terlihat juga. Kucoba mencari ke seluruh ruang kelas namun mereka tidak ada juga. “Apa gerangan yang terjadi. Kemana perginya teman-teman seprofesiku,” tanyaku dalam hati.
Kerumunan orang-orang yang kulihat tadi semakin ramai saja. Bahkan dari kerumunan orang-orang itu kudengar omelan-omelan. Kucoba mendekat ke dalam kerumunan orang-orang itu. Namun yang kudapat hanya omelan dan caci maki.
Kulihat wajah-wajah orang itu semakin beringas saja dengan omelaannya. Aku coba menenangkan keadaan. Sebagai guru, malu rasanya ikut dalam emosi massa. Kutenagkan diri yang sangat menggerahkan di pagi itu.


Pulang dari sekolah aku tertunduk lesuh. Ternyata teman-temanku sudah berkumpul di kantor wakil rakyat. Aku tidak ikut dalam ujuk rasa yang mereka renungkan. Sebab dari televisi-televisi aku sudah tahu betul tuntutan mereka. Bahkan kalau aku pergi ke sana, kembali aku akan disuguhi omelan.
Aku berusaha mengelak dari omelan. Aku berusaha lari dari omelan. Sebab semalaman aku tidak tidur lantaran asyik mendengar omelan. Kenapa selalu omelan yang muncul. Kenapa tidak berusaha berhenti dari omelan.
Di rumah istri tercinta sudah menunggu dari tadi. Namun belum sampai aku di teras rumah kulihat wajah istriku gusar. Belum lagi lelah di tubuh ini yang hendak kuhempaskan di balai-balai karena memang semalaman aku tidak bisa tidur, tiba-tiba dia mencaci makiku.
“Coba pikirkan, semuanya naik. Belum lagi tercukupi untuk makan, kembali barang-barang merangkak naik. Sebantar lagi anak-anak akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Pakai apa nanti mereka itu melanjutkan sekolahnya,” bentak istriku bertubi-tubi.
“Coba saja, bapak dulu ikut menangani dana BOS. Tentu saja sedikit banyak mendapatkan kucuran dari sana. Ini, hanya sok bersih saja, sementara anak-anak mau melanjutkan sekolah pakai apa,” jejer makian istriku.
Pada hal aku ingin sampai di rumah secepatnya untuk menghindari omelan dan membalas tidur malamku yang terganggu. Tapi yang kuhadapi saat ini tetap omelan. Lama-lama stres juga kalau seperti ini terus terjadi. Tidak ada lagi tempat yang tenang.
Orang-orang sudah lupa beretika. Orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan ketenangan. Sudah saling caci, saling carut, saling sikut dan saling……
Aku hanya bisa terdiam mendengar omelan orang-orang dan istriku. Sebab angkat bicara berarti terlibat dalam omelan. Hal ini hanya membuat penyakit mudah datangnya.
Aku berusaha setenang mungkin menghadapi omelan istri sebab salah-salah menanggapi omelan itu aku bisa kena caci maki dan carut saja. Aku tidak mau terulang kisah tadi malam, di mana istriku dengan teganya menghina, mencaci maki dan mencarutiku hanya gara-gara persoalan kecil saja.
Kucoba mengikuti jalan pikirannya yang begitu ruwet. Namun tidak kudapatkan ketengan dari dalam pikirannya. Terus saja omelannya berkumandang hingga sore pun tiba.
“Jangan-jangan malam ini juga aku tidak akan dapat tidur lagi seperti malam yang sudah-sudah,” batinku.


Siapakah aku ini, sehingga tidak tahan mendengar omelan-omelan itu. Sudah lama aku mencari jalan bagaimana keluar dari omelan ini.
Hingga semalam ini pun omelan istriku belum surut-surut. Kucoba menenangkannya pergi berkumpul dengan teman-teman di pos ronda. Terlihat beberapa orang sedang berbincang-bincang dan sebagian lagi sedang bermain catur di pos ronda untuk menghilangkan rasa kantuk.
Kudekati, Pak Amir yang tengah asyik berbincang tentang sesuatu bersama temannya. Pak Amir dan temannya menyambutku dengan senyuman yang dibuat. Kembali perbincangan mereka dilanjutkan. Aku hanya sebagai pendengar setia saja.
Tetapi aku tidak betah juga duduk di pos ronda ini. Karena perbincangan Pak Amir sudah berupa omelan. Begitu juga petugas ronda yang sedang asyik bermain catur itu kini malah saling mencaci maki.
Telingaku semakin panas saja dibuatnya. Kini kepalaku yang berrdenyut mendengar omelan mereka yang semakin seru. Cacian dan carutan semakin mudah keluar dari mulut-mulut mereka.
“Kok mereka ini sama saja dengan istriku di rumah yang omelannya hingga perginya aku tadi belum reda. Kenapa bisa orang berlama-lama mengomel. Apakah mereka tidak capek mengomel,” pikirku tidak mengerti.
“Bapak-bapak, cobalah untuk arif. Kenapa mesti marah-marah dan mengomel. Selesaikan semuanya dengan hati yang tenang. Berbincang-bincanglah dengan kepala yang dingin,” kataku membuat suasanya menjadi hening seketika.
Tiba-tiba, mata mereka melotot kepadaku. Mereka menatapku dengan sorotan mata tajam seperti hendak menerkam. Sepertinya kata-kataku itu ada yang salah. Walau mulut mereka terdiam tetapi itu hanya sejenak, kerena di balik mimik wajah mereka tersimpan amarah yang menggebu, yang hendak ditumpahkan kepadaku.
Sebelum maksud mereka ingin mengomeliku, sejurus langkah seribu kuayunkan. Lantas hanya sayup-sayup aku mendengar omelan itu.
Kini yang tertinggal di pos ronda itu hanya omelan yang tidak berkesudahan. Tidak peduli siang, malam atau subuh sekalipun.
Omelan yang bertubi-tubi ini sudah setahun kurasakan bahkan semakin hari semakin banyak saja omelan. Hampir-hampir telingaku tidak sanggup lagi mendengar omelan itu setiap hari.
Aku bingung dibuat keadaan ini. Semakin kupikirkan semakin kutak mengerti apa yang terjadi. Kenapa diriku menjadi sasaran omelan melulu. Di rumah, di sekolah, di warung, di tempat ronda selalu aku ditemani omelan.
Hingga suatu hari, aku disapa teman lama. Sudah sepuluh tahun kami tidak pernah berjumpa. Sejak tamat kuliah dulu, kami mengambil langkah masing-masing. Temanku itu ke Bengkalis menjadi guru di sana.
“Sepertinya beban psikologis ini menjadimu seperti ini,” kata sahabatku.
“Beban psikologis apa maksudmu,” tanyaku ketus.
“Cobalah menatap jauh, jangan biarkan dirimu dihimpit beban. Ambil keputusan yang penuh pertimbangan. Sebab keputusan ada ditanganmu,” katanya.
Lalu sejak saat itu, aku harus mengambil sikap kepada semua orang termasuk istriku yang setiap hari setia mengomeliku dengan caci-maki dan hinaan.
Selama ini ternyata aku hidup di dunia omelan. Bahkan sampai-sampai jangkrik pun ikut mengomelin diriku.
Bahkan sahabatku yang dari Bengkalis itu, sempat juga kudengar dari mulutnya omelan. Kenapa semua orang ingin mengomeli diriku. Tidak ada yang memerikan peluang untuk bebas dari omelan. Jangan-jangan hidup ini sudah trend dengan omelan. Atau memang dunia ini sudah menjadi dunia omelan.
Akhirnya aku benar-benar berteriak, ingin keluar dari omelan ini. Berontak, berlari sekencangnya dan terus teriak hingga alarm yang sengaja kunyalakan berbunyi mendakan hari sudah pagi. Hal ini jugalah yang menyadarkan aku dari mimpi selama tidur semalam.
Ternyata pikiran dan kupingku sudah terlalu banyak mendengar omelan istri di rumah sehingga kata-kata dan perbincangan teman-temanku sudah seperti omelan yang kudengar. ***

Foto Istimewa (siswa SD Kalam Kudus Pekanbaru Teresa Pranyoto bersama Gubernur Riau Rusli Zainal. Gubri menerima buku komputer yang dibuat Teresa)