Sabtu, 10 April 2010

Sudah Dimuat di Metro Riau Minggu 11 April 2010

Menjadi yang Terbesar

Sekelompok rusa sedang makan rumput di sebuah padang belantara. Tiba-tiba muncul seekor singa yang kelaparan yang sedang mencari mangsa. Rusa-rusa itu serentak melindungi diri dengan cara berdiri saling membelakangi membentuk lingkaran dengan arah tanduk-tanduknya ke depan.

Sang singa tidak berani mendekat, takut kena tanduk rusa. Akan tetapi, dengan tipu muslihatnya ia lalu berkata, “Sungguh sebuah barisan yang bagus. Bolehkah aku tahu rusa jenius mana yang mencetuskan ide seperti ini?”

Rusa-rusa itu termakan hasutan sang singa. Mereka berdebat siapa yang pertama kali mencetuskan ide membuat barisan kokoh tersebut. Tidak ada kata sepakat, akhirnya mereka cerai-berai. Sang singa pun dengan mudah memangsa mereka satu per satu.

Ilustrasi tersebut sering kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kata-kata bijak menjelaskan, sebuah lidi tidak mungkin bisa menyapu halaman rumah kita. Tetapi kalau lidi-lidi itu dikumpulkan dan diikat tentu ceritanya lain. Lidi itu jadi bermanfaat dan mampu untuk menyapu halaman rumah kita. Di saat lidi-lidi itu bersatu, mereka memiliki kekuatan. Tetapi bila mereka berdiri sendiri, mereka menjadi lemah.

Secara tidak kita sadari, sebuah kelompok, sebuah persekutuan dan sebuah kerjasama sangat menopang kehidupan kita. Kita tidak pernah menyadari dari peranan yang diperbuat sahabat. Kita terkadang tidak menyadari peranan besar dari saudara. Kita asyik bertengkar dengan mereka dan menganggap tidak ada gunanya bersahabat atau berteman dengan yang lain.

Dalam sebuah kelompok, baik kelompok kerja di perusahaan, maupun kelompok pelayanan di gereja, salah satu kerikil dan duri paling tajam yang bisa muncul adalah persaingan tentang siapa yang paling berpengaruh, paling berjasa, paling penting dan paling dibutuhkan. Apabila sudah begitu, kelompok tersebut menjadi sangat rapuh. Seperti yang terjadi pada kelompok rusa dalam cerita di atas.

Seseorang merasa tanpa kehadiran atau kesertaannya, kegiatan ini tidak akan jalan dengan baik. Seorang lagi beranggapan karena dialah perusahaan ini bisa maju dan jaya seperti sekarang ini, karena tanpa dia, perusahaan tak akan bisa melakukan terobosan dan mencari peluang melebarkan sayap bisnis yang menghasilkan pemasukan yang banyak bagi perusahaan.

Tanpa kehadirannya, penandatanganan perjanjian proyek ini tidak akan terjadi. Tanpa kehadirannya, rapat dan kebijakan tidak akan jalan. Dan semua orang diperusahaan ini atau di kelompok persekutuan ini sangat membutuhkan kehadirannya. Mereka begitu terikat dan sangat tergantung kepadanya sehingga dia adalah karyawan yang paling dibutuhkan.

Persaiangan ini juga terjadi di antara para siswa di sekolah. Mereka saling bersaing memperoleh nilai yang tinggi. Mereka bersaing untuk disayang dan mendapat perhatian lebih dari gurunya di banding kepada teman-temannya yang lain. Bahkan hingga di rumah pun mereka bersaing untuk menjadi yang paling disayangi kedua orang tuanya.

Segala bentuk persaingan pada intinya tidak salah kalau dilakukan dengan sehat dan tanpa ada maksud tersembunyi di dalam persaingan itu. Apalagi persaingan untuk berlomba-lomba melakukan hal yang baik. Berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan berlomba memberikan kasih kepada sesama.

Persaingan demikian rupanya terjadi juga di kalangan para murid Tuhan Yesus. Setelah sebelumnya mereka berdebat tentang siapa yang terbesar di antara mereka (Markus 9:33-37), sekarang tahu-tahu Yakobus dan Yohanes tampil meminta tempat utama kepada Guru mereka. Kesepuluh murid lain kontan marah kepada kedua bersaudara itu.

Tuhan Yesus segera meluruskan pemahaman mereka. Siapa yang ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi pelayan bagi semua (ayat 43,44). Artinya, kebesaran sejati terletak dalam kerendahan hati.

Tetapi pada prinsipnya persaiangan yang terjadi adalah bukannya malah menjadi pelayan, melainkan ingin dilayani dan mendapat tempat yang paling terhormat. Kebesaran seseorang itu terletak pada kerendahan hatinya bukan pada ketinggian hati.

Untuk apa seorang yang kaya kalau tidak pernah menyumbang dan membantu sesama yang kesusahan. Untuk apa menjadi pandai kalau ilmu yang dimiliki tidak bisa bermanfaat bagi orang lain. Lebih baik sebagai seorang yang sederhana, namun memiliki hati emas dan kasih sayang yang tulus. Daripada kehormatan yang tinggi tapi berhati srigala dan penghisap darah orang lain.

Rasanya sebagai anak-anak Tuhan tidak selayaknya kita mencari-cari kebesaran diri. Biarlah Tuhan yang menilai dan memberikan upah kita yang sesungguhnya. Sebab penilaian Tuhan tidak pernah salah atas semua perbuatan yang kita lakukan selama ini. Mesin komputer untuk menilai hasil ujian kita yang tertuang pada perbuatan kita di dunia ini terekam dengan jelas. Tidak pernah terjadi kesalahan teknis, sebab penilaian terhadap kita yang menjadikan upah kita di sorga begitu valid.

Kalu kita sebagai orang yang berada, jadikanlah itu untuk pelayanan kasih yang sesungguhnya. Kalau kita pintar, jadikanlah itu untuk membantu dan mencari jalan keluar dari segala permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Sehingga kita menjadi besar karena menjadi pelayan kasih-Nya.

Sebab barang siapa yang mencari kebesaran dengan cara memegahkan diri, tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tetapi barang siapa yang menunjukkan kasih dan menjadi pelayan-pelayan otomatis pintu sorga terbentang dikehidupannya.

Tuhan tidak pernah menghalangi kita menjadi besar. Tuhan sangat senang umat-Nya memiliki nama yang besar akibat prestasi yang diukirnya. Tetapi ingatlah selalu, ketika kebesaran yang kita miliki itu menjadi kenyataan, janganlah anggap itu sebuah kesombongan diri. Janganlah anggap itu hasil usaha dan kerja keras sendiri tanpa bantuan dan kesertaan Tuhan di dalamnya.

Kalau kita sebagai orang yang berada, ambillah langkah dan jalan melayani, itulah yang sesungguhnya yang membuat kita menjadi besar. Itulah sesungguhnya kebesaran yang sejati.

Untuk bahan renungan kita minggu ini tertulis di kitab Markus 10:43-45, “Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

Marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terbesar dengan melakukan pelayanan kasih yang sesungguhnya di tengah-tengah kita. Marilah kita mengulurkan tangan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Dengan begitu, sebagai umat Kristen yang melayani, nama besar yang sesunggunya ada pada diri kita menunjukkan “kekecilan” kita di mata manusia dan menjadi besar di mata Tuhan. Semoga kita bisa menjadi pelayan-pelayan sejati yang membesarkan kita kelak. ***

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru

dan Anggota Jemaat HKBP Sukajadi)

0 komentar: