Selasa, 23 Maret 2010

Ketika Paskah di Depan Mata


Sudah dimuat di Harian Metro Riau, Minggu 21 Maret 2010

Sebuah Derita

“Ah, hidup hanya sekali. Karena itu harus benar-benar kita nikmati. Berpesta dan berfoya-foya hingga sampai memabukkan dan mengumbar hawa nafsu menjadi hal biasa. Ke marin, saya baru saja mendapatkan keuntungan perusahaan yang sangat besar. Untuk itu, saya mengundang kalian ke sini untuk berpesta. Silakan makan sepuasnya dan minum sekuatnya. Kita berpesta semalaman suntuk. Jangan takut dan khawatir, saya yang akan membayar semuanya.”

“Setelah itu, saya juga menyediakan wanita-wanita cantik untuk menemani para tamu. Mereka siap memberikan pelayanan dan kepuasan. Para tamu, saya persilahkan memilih salah satu di antara mereka. Kalau memang butuh lebih dari satu, silahkan saja, yang penting teman-temanku sekalian puas dengan kesuksesan yang saya raih ini.”

“Saya juga telah menyediakan minuman termahal yang bisa dinikmati. Tidak penting memikirkan semuanya, sebab saya yang mentraktir. Para tamu yang menjadi sahabat-sabahatku, nikmati saja segala kemewahan ini. Kapan lagi kita bisa menikmati hidup seperti ini. Sebuah kesempatan ini, kita dapat dari keuntungan perusahaan yang begitu banyaknya. Sebuah kesempatan harus dimanfaatkan sebab kesempatan itu datangnya hanya sekali.”

Hampir sama dengan ilustrasi di atas, ilustrasi berikut juga sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sebagai orang Kristen yang katanya pengikut Kristus.

“Wah, saya baru dapat arisan tadi. Besok saya akan membuatkan makanan yang enak-enak untuk keluarga saya. Selain itu, saya akan membelikan anak-anak pakaian yang baru. Tidak ketinggalan juga untuk suami, saya akan membelikan jas keluaran terbaru. Sisanya, saya akan membeli perhiasan berupa gelang atau kalung.”

“Kalau masih tetap ada sisa, saya akan mengganti peralatan elektronik yang lebih canggih lagi dari yang sudah ada saat ini. Kapan lagi bisa menikmati fasilitas elektronik yang canggih. Tentu saja segala bentuk hiburan akan bisa dinikmati seluruh keluarga saya dari rumah.”

“O, ya, saya hampir lupa untuk mengundang teman-teman dekat untuk makan di rumah. Setidaknya saya akan membuat pesta kecil-kecilan. Sebab beberapa waktu yang lalu, suami saya baru saja mendapatkan undian berhadiah (judi). Uang dari judi tersebut masih ada, dan masih saya simpan.”

Inilah berbagai ilustrasi kehidupan di dunia ini. Kita selalu mengingat sebuah kesenangan dalam suatu perolehan kebahagiaan. Tidak pernah sedikit pun, kita memikirkan bagaimana membuat hidup menjadi berkhidmat. Membuat hidup menjadi bermakna.

Sebuah bentuk anugerah dan kebahagiaan hidup selalu kita bawakan kepada bentuk kesenangan kedagingan. Kita tidak pernah mengingat Tuhan. Kita tidak pernah mengingat Yesus yang begitu luar biasanya memikul dosa-dosa kita. Walaupun Tuhan kita, Yesus Kristus dalam penderitaan, Dia selalu mengingat kita. Bukan di dalam bahagia saja Dia mengingat kita. Sampai ajal-Nya dijemput Bapa-Nya, Dia masih mengingat kita. Dan Dia tidak pernah menuntut balas budi, sebab pengorbanannya bukti ketulusan hati dan kasih yang sempurna.

Kita tidak pernah memikirkan penderitaan Tuhan memikul dosa-dosa umat manusia di kayu salib. Sementara, ketika kita mendapatkan rezeki dan kesenangan hidup, sedikit pun kita tidak mengingat-Nya.

Terkadang ketika kita mendapat kemalangan, baru mengingat Dia. Itu pun ada juga yang sama sekali tidak datang kehadapan-Nya, melainkan mencari Tuhan-Tuhan lain, memuja benda-benda dan menyembah pada berhala. Bahkan menyalahkan Tuhan sebagai pembawa kemalangan tersebut.

Untuk memikirkan saudara-saudara kita yang miskin dan membutuhkan uluran tangan pun kita tidak mengingatnya. Kita malah lebih memilih berfoya-foya dan berpesta yang hanya menghambur-hamburkan uang dan harta pada perbuatan yang tidak baik. Padahal seluruh berkat dan anugerah yang kita peroleh itu berasal dari kemurahan Tuhan dan seharusnya dipergunakan untuk kemuliaan nama-Nya. Memang Tuhan tidak menuntut harus membalas kebaikan-Nya atas kita.

Seharusnya, ketika kita mendapatkan rezeki atau anugerah dari Tuhan, yang kita ingat bukan pesta yang menghambur-hamburkan dan berfoya-foya sifatnya. Melainkan memberikan sebagian anugerah itu kepada yang membutuhkan. Mempersembahkan anugerah itu kepada pelayanan Tuhan.

Perbuatan baik seperti ini, merupakan ciri anak-anak Tuhan. Namun untuk berbuat kebaikan, ketika dalam kesenangan dan kebahagiaan hidup kita terkadang lupa dan sangat langkah terjadi. Seseorang menjadi senang ketika mendapatkan rezeki, tetapi jarang mengingat pemilik kesenangan itu, yaitu Tuhan. Kita mengabaikan dan melupakan-Nya.

Bahkan kita tidak memikirkan tentangga kita yang kekurangan. Tetangga kita yang hidup dalam penderitaan. Yang kita ingat adalah kolega-kolega kita yang selevel yang layak merayakan kesuksesan dan kejayaan kita itu dengan berpesta dan berfoya-foya.

Toh, berbuat baik dengan menyumbangkan rezeki dan anugerah itu hanya merugikan hidup saja. Tidak banyak manfaatnya buat kehebatan kita di tengah-tengah para kalangan elite. Berbuat baik menjadi barang langka di tengah-tengah dunia saat ini. Ketika kita menanggapi positif panggilan dan pemilihan Kristus, saat itu, kita memilih derita sebagai jalan hidup.

Seharusnya menjadi orang Kristen, berarti kita siap untuk bersekutu dengan Dia yang telah menekuni jalan salib. Jalan yang penuh penderitaan, jalan yang penuh siksaan, namun membawa kemuliaan, berkat yang luar biasa dan jalan keselamatan.

Ingatlah kata-kata Yesus, bahwa jalan hidup yang benar adalah jalan sempit yang menuju kehidupan. Jalan sempit itu dipilih pengikut-Nya. Sebaliknya, jalan lebar yang menuju kebinasaan dipilih mereka yang ingin hidup semaunya.

Sebagai bahan renungan kita minggu ini, tertulis di Matius 7:13 yang mengajarkan kita; “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya.”

Begitu “hitam-putih” kehidupan ditawarkan kepada kita, manakah jalan yang kita pilih. Apakah orang Kristen benar-benar tidak boleh bersenang-senang, berpesta, dan menjadi kaya? Jawabannya, ya dan tidak. Ya, pada pilihan yang memang “hitam-putih”. Sebagai pengikut Kristus, kita terikat pada Yesus Kristus. Kita memperoleh hidup berdasarkan pengorbanan-Nya di kayu salib. Jawabannya menjadi tidak, ketika kita mendefinisikan arti penderitaan itu.

Saat ini, kita tidak perlu mengalami derita fisik seperti yang Yesus alami, karena Dia yang telah mengalami-Nya untuk kita. Pengorbanan fisik yang dilakukan-Nya itu, karena kemurahan dan kasih-Nya, sehingga kita saat ini masih bisa menikmati indahnya pagi.

Yang menjadi derita kita adalah nuansa cemooh, dan fitnah. Status kita sebagai orang Kristen terkadang menjadi bahan pertimbangan utama untuk kemajuan karier, maupun di tengah pergaulan. Kita merasa minder dan khawatir jika identistas kita sebagai pengikut Kristus yang bersedia memikul salib menjadi dasar hidup kita di dalam menjalankan hidup ini.

Akhirnya derita kita justru berasal dari kebimbangan kita sendiri menyangkal diri. Kata Yesus; “Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Ketika Paskah di depan mata, sebagai anak-anak Tuhan, kita siap menjalani hidup yang bercirikan penderitaan. Dan selamat pula menikmati hidup yang dilimpahkan dengan damai sejahtera dan sukacita, dalam pengharapan. Selamat hari Minggu dan Tuhan memberikati. ***

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru dan Anggota Jemaat HKBP Sukajadi)

0 komentar: