Selasa, 16 Maret 2010

Hati dan Perkataan


Sudah Dimuat di Harian Metro Riau Terbit, Minggu 7 Maret 2010


“Saya sangat benci dengan dia, sebab selalu saja di kantor mau menang sendiri, mau perkataannya saja yang hanya didengar, sok berkuasa, sok pintar, sehingga tidak mau mendengar pendapat dan usul orang lain. Tapi anehnya, dia tidak sadar dengan tingkah lakunya itu. Sebenarnya, orang banyak yang tidak suka bergaul dengannya. Walaupun dipaksakan bergaul dengannya, paling hanya sekedar. Saya sudah muak melihat perangainya yang egois itu dan tidak mau mendengar pendapat orang lain”.

Hal ini sering kita dengar dalam kehidupan di kantoran. Interaksi ini tidak bisa lepas
dari kehidupan kita. Rasa benci, kesal dan muak menyertai segala pertemanan kita. Bahkan terkadang sampai menimbulkan sakit hati yang begitu mendalam. Interaksi ini membuat kita memendam perasaan benci. Perasaan yang seharusnya tidak mengotori hati. Perasaan yang senantiasa membawa damai daripada permusuhan.

Bahkan dari setiap interkasi itu, tidak jarang mendatangkan permusuhan. Hanya persoalan sepele dari sebuah interaksi hubungan persahabatan dan persaudaraan berantakan tidak karuan. Memandang persoalan itu sebagai hal yang penting diingat dan terus diletakkan di memori otak kita. Sementara interaksi perbuatan kasih jarang kita “konek-kan” dan pasang di hati dan pikiran.

Setiap hari, kita berinteraksi dengan banyak orang. Di keluarga, di tempat kerja, di sekolah, atau dimanapun kita akan membuat hubungan dengan begitu banyak orang. Tidak jarang, tiba-tiba timbul persoalan atau juga konflik dalam hubungan kita dengan orang lain.

Tapi, itulah hidup! Namun, bagaimana kita menyikapi konflik tersebut? Apakah kita percaya bahwa Tuhan bisa memakai orang-orang di sekitar kita, bahkan yang sedang berkonflik dengan kita, untuk membentuk karakter dalam hidup kita? Jika kita ingin memaknai hidup dengan cara seperti itu, kita perlu prinsip hidup.

Pertama kita perlu menjaga hati supaya kehidupan kita senantiasa bersih. Sebab melalui hati akan terpancar sinar kehidupan. Tuhan bisa dengan gampangnya melihat setiap hati kita. Walau manusia tidak bisa membaca dan melihat hati seseorang, namun Tuhan sanggup mengetahuinya.

Ketika kita menerima kata-kata atau perlakuan yang menyakitkan, jagalah hati. Jika kita bisa menjaga kondisi hati kita untuk tidak mudah terpengaruh emosi dan tindakan orang lain, kita akan mampu melepaskan belenggu sakit hati.

Tidak jarang kita menyaksikan di antara teman di kantor, di sekolah atau di rumah dengan saudara-saudara, kita terpancing emosi. Emosi yang kita ciptakan dan lahirkan dalam hidup, merupakan bentuk dari belum bersihnya hati. Gejolak emosi yang menggebu kerap membuat kita merasa stress dan dengan mudahnya mengumbar kata-kata, apalagi kalau sampai kata-kata itu menyakitkan.

Dari perkataan orang, kita bisa melihat hati orang tersebut. Dari hati, ketulusan akan terpancar menyinari kehidupan kita sehari-hati. Seorang anak dengan senang hati bila disuruh gurunya mengambilkan atau membawa bukunya. Perintah guru tersebut dengan senang hati dikerjakan murid.

Bahkan di sekolah, hampir setiap siswa ingin mendapat perintah dari guru, baik dalam hal membawakan buku atau pun disuruh ke kantor majelis guru untuk mengambilkan sesuatu. Ketulusan dan kesenangan hati mereka bisa kita lihat. Bahkan tanpa disuruh gurunya mengambilkan buku ke kantor, beberapa siswa sudah ada yang langsung datang ke kantor untuk menawarkan jasa membawakan buku-buku pelajaran itu.

Hal ini akan bertolak belakang, jika di rumah, orang tuanya menyuruh si anak tadi mengambilkan sesuatu, lebih banyak yang menolak bahkan membangkang. Kalaupun ada anak yang langsung mengambilkan sesuatu bila disuruh orang tuanya, namun tidak jarang berupa paksaan di hati. Mereka lebih rela dan senang hati bila disuruh gurunya.

Tuhan rindu melihat ketulusan hati kita di dalam menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Tuhan begitu tersenyumnya melihat kita mampu melakukan sesuai dengan keinginan-Nya. Dia senantiasa menunggu ketulusan hati kita untuk mau sadar beribadah ke gereja.

Namun terkadang secara tidak kita sadari, kita lebih memilih ketulusan hati mengikuti kehendak dan kemauan iblis. Kita merasakan bila mengikuti iblis segala bentuk kesenangan akan terjadi. Pada hal sebaliknya bakalan bencana dahsyat sedang mengintai kehidupan kita.

Kedua menjaga perkataan. Perlunya menjaga hati sama berartinya menjaga perkataan. Bila kita mampu menjaga hati kita, tentu secara otomatis kita bakalan mampu menjaga perkataan kita. Terkadang kita tidak menyadri kalau perkataan kita telah menyakiti orang-orang di sekitar kita.

Berbicara yang seenaknya mengumbar kata-kata terkadang menjebak kita masuk pada jurang kehancuran, baik hancurnya persahabatan, kepercayaan yang jelas-jelas merugikan pertemanan hidup kita.

Lain lagi dengan seseorang yang mampu mengendalikan perkataannya. Tentu akan disenangi teman-teman dan orang-orang di sekitarnya. Berbicara dengan lemah lembut, menjaga perasaan hati orang lain tentu mendatangkan mafaat besar bukan saja bagi diri kita juga bagi orang lain.

Tuhan sangat memberi tempat kepada orang-orang yang menjaga perkataannya. Sebab melalui perkataan terkadang orang menyakiti saudara-saudaranya. Bahkan sebuah ungkapan mengatakan bahwa perkataan jauh lebih tajam dari mata pisau. “Jagalah lidahmu, jagalah ucapanmu”, sering kita dengar berupa nasihat ini.

Dengan menjaga lidah kita tetap suci, tentu kata-kata yang keluar tidak sampai menyakitkan hati teman-teman dan Tuhan. Kita tidak hanya perlu memperhatikan apa yang kita ucapkan, tetapi juga cara mengucapkannya. Ada kalanya hanya karena salah ucap, atau nada suara dan ungkapan sinis bisa memancing sebuah pertengkaran. Hindarilah perkataan-perkataan yang tajam dan tidak perlu.

Kasar dan tajamnya perkataan kita hanya orang lainlah yang dapat menilainya. Sebab kita tidak akan menyadari kalau kata-kata yang keluar dari mulut kita telah menyinggung dan menyakiti hati orang lain. Terkadang secara tidak sadar, kita menyakiti hati teman-teman sekerja. Tidak jarang juga, seseorang yang ingin selalu perkataannyalah yang bagus dan harus didengar tanpa memperhitungkan orang lain. Kondisi ini membuatnya semakin sinis dan sombong.

Hal yang terakhir, janganlah menunjukkan perkataan yang sombong. Tidak perlu memuji diri karena sebuah perbuatan yang pernah kita lakukan. Sikap rendah hati adalah kunci dalam menjalin komunikasi yang positif. Belajarlah untuk bersukacita ketika orang lain menerima pujian, sekalipun saat itu, kita pun layak menerimanya.

Sering terjadi dalam kehidupan kita, di mana kita merasa iri melihat seseorang berhasil dalam tugas atau dalam kariernya. Bahkan kita terkadang mengatakan di hati bahwa kita juga mampu melakukannya. Kalaupun memang kita mampu dan bisa juga melakukan keberhasilan apa yang diperbuat orang itu jangan sampai terjadi iri yang berlebih.

Perlunya kebesaran hati memberikan selamat dan pujian kepada teman yang berhasil itu. Sebab hal ini akan menghidari kita dari rasa iri dan dengki. Janganlah kita senang bila orang lain sengsara dan menderita, sementara kita begitu bencinya melihat prestasi orang lain.

Yang perlu kita tanamkan untuk mewujudkan semuanya itu adalah untuk mau belajar setiap hari untuk mendatangkan damai sejahtera bagi setiap orang. Jangan merasa iri dan tersaingi, ciptakanlah damai sejahtera tanpa ada muatan yang lain di dalamnya. Hal ini tentu akan membuat hati kita bertambah bersih dan tidak ternoda. Perkataan yang keluar juga tentulah yang menyejukan dan membawa kebahagiaan bukan pada dirinya sendiri juga pada orang lain.

Sebagai bahan renungan kita minggu ini tertulis dalam Alkitab pada 1 Tesalonika 4:12 yang isinya " ...sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka." Selamat hari Minggu dan Tuhan memberkati. ***

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

0 komentar: