Selasa, 16 Maret 2010

Tidak Puas

Sudah Dimuat di Harian Metro Riau Terbitan Minggu, 14 Maret 2010

Saya baru saja membeli rumah baru yang lengkap dengan perabotannya. Hasil ini merupakan usaha suami yang gigih dalam bekerja. Sebab baru-baru ini, dia dipromosikan untuk suatu jabatan. Bulan depan, rencananya kami akan membeli mobil keluaran terbaru, sebab mobil yang ada saat ini sudah ketinggalan zaman. Sementara anak-anak bisa mendapatkan kebutuhan kuliahnya dengan berbagai fasilitas.

Sebagai ibu rumah tangga, saya ingin dipandang oleh ibu-ibu yang lain sebagai keluarga yang berada. Untuk hal ini, pernah saya utarakan kepada suami untuk dibelikan gelang dan kalung bertahtahkan berlian. Untunglah suamiku menanggapi dengan positif, sebab segala perhiasan itu untuk mengangkat kehormatannya. Sebagai isteri pejabat, tentu dia tidak ingin melihat isterinya tidak memiliki perhiasan dan baju yang mewah.

Segala peralatan elektronik rumah yang komplit, membuat anak-anak bisa menikmati tanpa harus bermain keluar rumah. Begitu juga dengan peralatan dapur yang serba luks dan lain sebagainya yang memudahkannya memasak berbagai hidangan yang enak-enak. Inilah yang menjadi keinginan sebagian kalangan ibu, di mana suami mendapatkan tawaran jabatan dan rezeki. Tiada batasan kepuasan menjadi sifat manusia.

Begitu juga harapan semua orang. Kalau dulu, dia hanya berpikir, bagaimana untuk bisa memiliki kendaraan roda dua, tentu hidup ini lebih nyaman ketimbang jalan kaki ke tempat kerja. Seiring dengan bergeraknya waktu, keinginan itu pun berubah. Setelah, dia mampu membeli kendaraan roda dua, dia masih berpikir, seandainya nanti bisa membeli mobil cukuplah sudah. Sebab dengan mobil tentu bisa ke kantor tanpa kepanasan dan kehujanan.

Terpenuhinya keinginan ini, bukan membuat manusia berhenti. Dia masih bercita-cita lagi, seandainya bisa jalan-jalan ke luar negeri, seandainya bisa shoping di luar negeri, bisa menikmati pelayanan hotel berbintang di luar negeri dan lain sebagainya. Segala keinginan ini membuat manusia terkadang hanya memikirkan jalan untuk mendapatkannya. Hati manusia berkecamuk untuk berusaha memiliki semua itu.

Amsal 15:16-17, “Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan, daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Lebih baik sepiring sayur dengan kasih daripada lembu tambun dengan kebencian.”

Ayat ini menggambarkan betapa kesederhanaan hidup, namun selalu menyenangkan hati Tuhan lebih berarti daripada kita memiliki harta yang berlimpah yang hanya mendatangkan kecongkakkan. Kesederhaan membuat kedamaian dan kesejukkan.

Coba kita lihat, seorang anak saja sudah berpikir ingin menguasai segala macam permainan yang ada di toko mainan. Mereka bercerita dengan teman-temannya, bahwa di rumahnya sudah ada permaianan yang begitu canggih. Teman yang lain ternyata melebihi anak yang pertama, anak yang lainnya lagi bahkan lebih hebat lagi permainan elektroniknya.

Ternyata anak yang pertama tadi menginginkan permainan seperti punya teman-teman yang lebih canggih itu, bahkan kalau bisa melebihi mereka. Bentuk ketidakpuasan kebutuhan ini sudah terlahir sejak manusia lahir. Jadi tidak salah kalau sifat kurang puas ini akan dirasakan sepanjang hayatnya.

Terkadang apa yang kita pikirkan, kita cita-citakan itu bisa terwujud. Tetapi banyak juga orang yang di tengah jalan menemukan kesulitan dan penderitaan hidup. Sebab tidak semua persoalan hidup menjadi happy ending.

Ketika kebahagiaan hidup dengan ukuran segala keinginan terpenuhi, maka terjadilah kebahagiaan hidup, namun belum tentu berhenti di batas itu. Sedangkan bagi yang tak terpenuhi tentu hanya berupa kekecewaan. Hujatan pun terlontar, menyalahkan orang lain bahkan terkadang menyalahkan Tuhan yang tidak sayang kepada kita.

Sedangkan bagi mereka yang meraih segalanya itu, namun di tengah jalan harus menderita, banyak yang menjadi stress. Mereka terkadang setelah tumpur dari kejayaan hidup duniawi memilih jalan pintas. Bunuh diri jadi kebanggaan. Bunuh diri jadi tradisi orang-orang stress dan yang tidak mempunyai Tuhan di hatinya.

Ketika kebahagiaan diraihnya, manusia bukannya puas. Malah semakin buas. Terkadang Tuhan menguji langkah manusia itu, terkadang lagi, langkah manusia tidak semulus yang ada pada pikirannya. Banyak duri, banyak rintangan dan persoalan menjadi bunga-bunga kehidupan yang mesti dilewati.

Namun ketika semuanya terpenuhi, manusia bukan memilih berhenti. Manusia malah semakin ingin memiliki lebih dan ingin berkuasa. Misalnya saja, setelah dipercaya dengan jabatan tertentu di sebuah tempat kerja, orang tersebut tidak berhenti sampai di sana. Dia masih menginginkan jabatan yang lebih tinggi lagi. Bahkan berniat dialah yang seharusnya memegang pimpinan.

Setelah jabatan pimpinan didapat, bukannya membuat manusia berhenti. Dia masih mencari cela bagaimana mendapatkan kekayaan yang lebih daripada tetangganya. Dia memikirkan bagaimana memperoleh uang yang berlimpah, walau dengan memanfaatkan jabatannya untuk melakukan korupsi. Sehingga terkadang mata menjadi gelap dan ingin mengusai sebanyak-banyaknya.

Tidak adanya kepuasan membuat manusia tersandung dengan dukacita. Kalau saja Presiden Soeharto (presiden kedua bangsa Indonesia) tidak terlena menikmati jabatan presiden tentu dia mendapat tempat di hati bangsa ini, tentu berbagai kasus yang melilitnya itu tidak akan terjadi.

Terlena menikmati kemewahan dan kesenangan hidup membuat manusia melupakan pegangan dasar hidupnya. Walaupun dia rajin beribadah, terkadang kekhusukannya melayang-layang di antara nafsu. Pikirannya pada kekuasaan, sehingga di tempat ibadah pun ingin diperlakukan sebagai penguasa.

Tidak jarang orang-orang seperti ini memperoleh tempat spesial di tengah-tengah peribadahan kita. Mereka begitu dihormati dibandingkan dengan jemaat yang miskin. Pada hal di mata Tuhan mereka itu sama, bahkan bisa jadi si orang miskin ini yang mendapat tempat di hadapan Tuhan. Sebab pikiran si miskin untuk beribadah adalah tulus, sedangkan sebaliknya si pejabat yang memiliki kekuasaan itu berpikiran menyimpang di hadapan Tuhan.

Kebahagiaan hati manusia yang hanya mengandalkan jalannya, tentulah tidak seindah yang dibayangkan. Sebagai umat Tuhan, seharusnya Tuhanlah yang menentukan arah langkah kita. Kita tak akan bisa melangkah tanpa bimbingan-Nya.

Jangan sekali-kali kita memikirkan hanya hati kitalah yang menentukan langkah kita. Jangan kita memikirkan dan mengandalkan kemampuan sendiri tanpa menyertakan Tuhan di dalam hidup kita.

Sebagai bahan renungan Minggu ini tertulis pada Amsal 16:8-9 "Lebih baik berpenghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada penghasilan banyak tanpa keadilan. Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.

Sebagai anak-anak Tuhan, kita tak perlu rendah diri karena gaji dan kemampuan kita tidak sehebat orang lain. Ingatlah selalu untuk selalu hidup dalam kebenaran. Hidup suci hanya dengan firman Tuhan di dalamnya. Selamat hari Minggu dan Tuhan memberkati.

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru

dan Anggota Jemaat HKBP Sukajadi)

0 komentar: