Selasa, 09 Desember 2008

Cerpen (cerpen ini sudah diterbitkan di Koran Riau Mandiri)

Omelan
Karya: Erwin Hartono

Malam sesepi ini masih juga aku mendengar omelan yang terkadang menyayat hingga ke hati yang paling dalam. Sementara tetangga di kiri kanan rumahku sudah terlelap dalam mimpi indah mereka di dalam peraduan yang semakin larut. Masih panjangkah omelan ini mempermainkan tidurku. Masih lamakah berhentinya.
Tiba-tiba hening yang kudengar. Kucoba untuk menutup mata. Sungguh tenang malam ini yang terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan. Sepertinya para jangkrik itu tengah berpesta malam. Namun lama-lama aku kembali terusik, suara-suara jangkri itu sudah seperti suara manusia.
Lagi-lagi aku mendengarkan omelan dari para jangkrik itu. Kenapa bukan manusia saja yang mengomel. Kini si jangkrik pun dari balik kegelapan malam yang jauh di bawah tanah saja mengomel tidak karuan.
Bahkan omelan itu sudah bercampur dengan carutan, cacian, dan hujatan. Semakin lama bukannya semakin berkurang, namun semakin kecang saja omelan itu. Gerah juga aku dibuat omelan si jangkrik. Akhirnya malam itu aku begadang alias tidak bisa tidur. Pada hal besok pagi-pagi benar aku harus sudah bangun. Karena sebagai guru, kami diajari disiplin datang ke sekolah.
Suasana pagi di sekolah kulihat berbeda dari hari biasanya. Banyak orang bergerombolan, bertumpuk-tumpuk seperti membagi sembako. Sebagian lagi duduk berkelompok-kelompok.
Kucari teman-temanku, namun tidak terlihat juga. Kucoba mencari ke seluruh ruang kelas namun mereka tidak ada juga. “Apa gerangan yang terjadi. Kemana perginya teman-teman seprofesiku,” tanyaku dalam hati.
Kerumunan orang-orang yang kulihat tadi semakin ramai saja. Bahkan dari kerumunan orang-orang itu kudengar omelan-omelan. Kucoba mendekat ke dalam kerumunan orang-orang itu. Namun yang kudapat hanya omelan dan caci maki.
Kulihat wajah-wajah orang itu semakin beringas saja dengan omelaannya. Aku coba menenangkan keadaan. Sebagai guru, malu rasanya ikut dalam emosi massa. Kutenagkan diri yang sangat menggerahkan di pagi itu.


Pulang dari sekolah aku tertunduk lesuh. Ternyata teman-temanku sudah berkumpul di kantor wakil rakyat. Aku tidak ikut dalam ujuk rasa yang mereka renungkan. Sebab dari televisi-televisi aku sudah tahu betul tuntutan mereka. Bahkan kalau aku pergi ke sana, kembali aku akan disuguhi omelan.
Aku berusaha mengelak dari omelan. Aku berusaha lari dari omelan. Sebab semalaman aku tidak tidur lantaran asyik mendengar omelan. Kenapa selalu omelan yang muncul. Kenapa tidak berusaha berhenti dari omelan.
Di rumah istri tercinta sudah menunggu dari tadi. Namun belum sampai aku di teras rumah kulihat wajah istriku gusar. Belum lagi lelah di tubuh ini yang hendak kuhempaskan di balai-balai karena memang semalaman aku tidak bisa tidur, tiba-tiba dia mencaci makiku.
“Coba pikirkan, semuanya naik. Belum lagi tercukupi untuk makan, kembali barang-barang merangkak naik. Sebantar lagi anak-anak akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Pakai apa nanti mereka itu melanjutkan sekolahnya,” bentak istriku bertubi-tubi.
“Coba saja, bapak dulu ikut menangani dana BOS. Tentu saja sedikit banyak mendapatkan kucuran dari sana. Ini, hanya sok bersih saja, sementara anak-anak mau melanjutkan sekolah pakai apa,” jejer makian istriku.
Pada hal aku ingin sampai di rumah secepatnya untuk menghindari omelan dan membalas tidur malamku yang terganggu. Tapi yang kuhadapi saat ini tetap omelan. Lama-lama stres juga kalau seperti ini terus terjadi. Tidak ada lagi tempat yang tenang.
Orang-orang sudah lupa beretika. Orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan ketenangan. Sudah saling caci, saling carut, saling sikut dan saling……
Aku hanya bisa terdiam mendengar omelan orang-orang dan istriku. Sebab angkat bicara berarti terlibat dalam omelan. Hal ini hanya membuat penyakit mudah datangnya.
Aku berusaha setenang mungkin menghadapi omelan istri sebab salah-salah menanggapi omelan itu aku bisa kena caci maki dan carut saja. Aku tidak mau terulang kisah tadi malam, di mana istriku dengan teganya menghina, mencaci maki dan mencarutiku hanya gara-gara persoalan kecil saja.
Kucoba mengikuti jalan pikirannya yang begitu ruwet. Namun tidak kudapatkan ketengan dari dalam pikirannya. Terus saja omelannya berkumandang hingga sore pun tiba.
“Jangan-jangan malam ini juga aku tidak akan dapat tidur lagi seperti malam yang sudah-sudah,” batinku.


Siapakah aku ini, sehingga tidak tahan mendengar omelan-omelan itu. Sudah lama aku mencari jalan bagaimana keluar dari omelan ini.
Hingga semalam ini pun omelan istriku belum surut-surut. Kucoba menenangkannya pergi berkumpul dengan teman-teman di pos ronda. Terlihat beberapa orang sedang berbincang-bincang dan sebagian lagi sedang bermain catur di pos ronda untuk menghilangkan rasa kantuk.
Kudekati, Pak Amir yang tengah asyik berbincang tentang sesuatu bersama temannya. Pak Amir dan temannya menyambutku dengan senyuman yang dibuat. Kembali perbincangan mereka dilanjutkan. Aku hanya sebagai pendengar setia saja.
Tetapi aku tidak betah juga duduk di pos ronda ini. Karena perbincangan Pak Amir sudah berupa omelan. Begitu juga petugas ronda yang sedang asyik bermain catur itu kini malah saling mencaci maki.
Telingaku semakin panas saja dibuatnya. Kini kepalaku yang berrdenyut mendengar omelan mereka yang semakin seru. Cacian dan carutan semakin mudah keluar dari mulut-mulut mereka.
“Kok mereka ini sama saja dengan istriku di rumah yang omelannya hingga perginya aku tadi belum reda. Kenapa bisa orang berlama-lama mengomel. Apakah mereka tidak capek mengomel,” pikirku tidak mengerti.
“Bapak-bapak, cobalah untuk arif. Kenapa mesti marah-marah dan mengomel. Selesaikan semuanya dengan hati yang tenang. Berbincang-bincanglah dengan kepala yang dingin,” kataku membuat suasanya menjadi hening seketika.
Tiba-tiba, mata mereka melotot kepadaku. Mereka menatapku dengan sorotan mata tajam seperti hendak menerkam. Sepertinya kata-kataku itu ada yang salah. Walau mulut mereka terdiam tetapi itu hanya sejenak, kerena di balik mimik wajah mereka tersimpan amarah yang menggebu, yang hendak ditumpahkan kepadaku.
Sebelum maksud mereka ingin mengomeliku, sejurus langkah seribu kuayunkan. Lantas hanya sayup-sayup aku mendengar omelan itu.
Kini yang tertinggal di pos ronda itu hanya omelan yang tidak berkesudahan. Tidak peduli siang, malam atau subuh sekalipun.
Omelan yang bertubi-tubi ini sudah setahun kurasakan bahkan semakin hari semakin banyak saja omelan. Hampir-hampir telingaku tidak sanggup lagi mendengar omelan itu setiap hari.
Aku bingung dibuat keadaan ini. Semakin kupikirkan semakin kutak mengerti apa yang terjadi. Kenapa diriku menjadi sasaran omelan melulu. Di rumah, di sekolah, di warung, di tempat ronda selalu aku ditemani omelan.
Hingga suatu hari, aku disapa teman lama. Sudah sepuluh tahun kami tidak pernah berjumpa. Sejak tamat kuliah dulu, kami mengambil langkah masing-masing. Temanku itu ke Bengkalis menjadi guru di sana.
“Sepertinya beban psikologis ini menjadimu seperti ini,” kata sahabatku.
“Beban psikologis apa maksudmu,” tanyaku ketus.
“Cobalah menatap jauh, jangan biarkan dirimu dihimpit beban. Ambil keputusan yang penuh pertimbangan. Sebab keputusan ada ditanganmu,” katanya.
Lalu sejak saat itu, aku harus mengambil sikap kepada semua orang termasuk istriku yang setiap hari setia mengomeliku dengan caci-maki dan hinaan.
Selama ini ternyata aku hidup di dunia omelan. Bahkan sampai-sampai jangkrik pun ikut mengomelin diriku.
Bahkan sahabatku yang dari Bengkalis itu, sempat juga kudengar dari mulutnya omelan. Kenapa semua orang ingin mengomeli diriku. Tidak ada yang memerikan peluang untuk bebas dari omelan. Jangan-jangan hidup ini sudah trend dengan omelan. Atau memang dunia ini sudah menjadi dunia omelan.
Akhirnya aku benar-benar berteriak, ingin keluar dari omelan ini. Berontak, berlari sekencangnya dan terus teriak hingga alarm yang sengaja kunyalakan berbunyi mendakan hari sudah pagi. Hal ini jugalah yang menyadarkan aku dari mimpi selama tidur semalam.
Ternyata pikiran dan kupingku sudah terlalu banyak mendengar omelan istri di rumah sehingga kata-kata dan perbincangan teman-temanku sudah seperti omelan yang kudengar. ***

0 komentar: