Selasa, 23 Maret 2010

Ketika Paskah di Depan Mata


Sudah dimuat di Harian Metro Riau, Minggu 21 Maret 2010

Sebuah Derita

“Ah, hidup hanya sekali. Karena itu harus benar-benar kita nikmati. Berpesta dan berfoya-foya hingga sampai memabukkan dan mengumbar hawa nafsu menjadi hal biasa. Ke marin, saya baru saja mendapatkan keuntungan perusahaan yang sangat besar. Untuk itu, saya mengundang kalian ke sini untuk berpesta. Silakan makan sepuasnya dan minum sekuatnya. Kita berpesta semalaman suntuk. Jangan takut dan khawatir, saya yang akan membayar semuanya.”

“Setelah itu, saya juga menyediakan wanita-wanita cantik untuk menemani para tamu. Mereka siap memberikan pelayanan dan kepuasan. Para tamu, saya persilahkan memilih salah satu di antara mereka. Kalau memang butuh lebih dari satu, silahkan saja, yang penting teman-temanku sekalian puas dengan kesuksesan yang saya raih ini.”

“Saya juga telah menyediakan minuman termahal yang bisa dinikmati. Tidak penting memikirkan semuanya, sebab saya yang mentraktir. Para tamu yang menjadi sahabat-sabahatku, nikmati saja segala kemewahan ini. Kapan lagi kita bisa menikmati hidup seperti ini. Sebuah kesempatan ini, kita dapat dari keuntungan perusahaan yang begitu banyaknya. Sebuah kesempatan harus dimanfaatkan sebab kesempatan itu datangnya hanya sekali.”

Hampir sama dengan ilustrasi di atas, ilustrasi berikut juga sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sebagai orang Kristen yang katanya pengikut Kristus.

“Wah, saya baru dapat arisan tadi. Besok saya akan membuatkan makanan yang enak-enak untuk keluarga saya. Selain itu, saya akan membelikan anak-anak pakaian yang baru. Tidak ketinggalan juga untuk suami, saya akan membelikan jas keluaran terbaru. Sisanya, saya akan membeli perhiasan berupa gelang atau kalung.”

“Kalau masih tetap ada sisa, saya akan mengganti peralatan elektronik yang lebih canggih lagi dari yang sudah ada saat ini. Kapan lagi bisa menikmati fasilitas elektronik yang canggih. Tentu saja segala bentuk hiburan akan bisa dinikmati seluruh keluarga saya dari rumah.”

“O, ya, saya hampir lupa untuk mengundang teman-teman dekat untuk makan di rumah. Setidaknya saya akan membuat pesta kecil-kecilan. Sebab beberapa waktu yang lalu, suami saya baru saja mendapatkan undian berhadiah (judi). Uang dari judi tersebut masih ada, dan masih saya simpan.”

Inilah berbagai ilustrasi kehidupan di dunia ini. Kita selalu mengingat sebuah kesenangan dalam suatu perolehan kebahagiaan. Tidak pernah sedikit pun, kita memikirkan bagaimana membuat hidup menjadi berkhidmat. Membuat hidup menjadi bermakna.

Sebuah bentuk anugerah dan kebahagiaan hidup selalu kita bawakan kepada bentuk kesenangan kedagingan. Kita tidak pernah mengingat Tuhan. Kita tidak pernah mengingat Yesus yang begitu luar biasanya memikul dosa-dosa kita. Walaupun Tuhan kita, Yesus Kristus dalam penderitaan, Dia selalu mengingat kita. Bukan di dalam bahagia saja Dia mengingat kita. Sampai ajal-Nya dijemput Bapa-Nya, Dia masih mengingat kita. Dan Dia tidak pernah menuntut balas budi, sebab pengorbanannya bukti ketulusan hati dan kasih yang sempurna.

Kita tidak pernah memikirkan penderitaan Tuhan memikul dosa-dosa umat manusia di kayu salib. Sementara, ketika kita mendapatkan rezeki dan kesenangan hidup, sedikit pun kita tidak mengingat-Nya.

Terkadang ketika kita mendapat kemalangan, baru mengingat Dia. Itu pun ada juga yang sama sekali tidak datang kehadapan-Nya, melainkan mencari Tuhan-Tuhan lain, memuja benda-benda dan menyembah pada berhala. Bahkan menyalahkan Tuhan sebagai pembawa kemalangan tersebut.

Untuk memikirkan saudara-saudara kita yang miskin dan membutuhkan uluran tangan pun kita tidak mengingatnya. Kita malah lebih memilih berfoya-foya dan berpesta yang hanya menghambur-hamburkan uang dan harta pada perbuatan yang tidak baik. Padahal seluruh berkat dan anugerah yang kita peroleh itu berasal dari kemurahan Tuhan dan seharusnya dipergunakan untuk kemuliaan nama-Nya. Memang Tuhan tidak menuntut harus membalas kebaikan-Nya atas kita.

Seharusnya, ketika kita mendapatkan rezeki atau anugerah dari Tuhan, yang kita ingat bukan pesta yang menghambur-hamburkan dan berfoya-foya sifatnya. Melainkan memberikan sebagian anugerah itu kepada yang membutuhkan. Mempersembahkan anugerah itu kepada pelayanan Tuhan.

Perbuatan baik seperti ini, merupakan ciri anak-anak Tuhan. Namun untuk berbuat kebaikan, ketika dalam kesenangan dan kebahagiaan hidup kita terkadang lupa dan sangat langkah terjadi. Seseorang menjadi senang ketika mendapatkan rezeki, tetapi jarang mengingat pemilik kesenangan itu, yaitu Tuhan. Kita mengabaikan dan melupakan-Nya.

Bahkan kita tidak memikirkan tentangga kita yang kekurangan. Tetangga kita yang hidup dalam penderitaan. Yang kita ingat adalah kolega-kolega kita yang selevel yang layak merayakan kesuksesan dan kejayaan kita itu dengan berpesta dan berfoya-foya.

Toh, berbuat baik dengan menyumbangkan rezeki dan anugerah itu hanya merugikan hidup saja. Tidak banyak manfaatnya buat kehebatan kita di tengah-tengah para kalangan elite. Berbuat baik menjadi barang langka di tengah-tengah dunia saat ini. Ketika kita menanggapi positif panggilan dan pemilihan Kristus, saat itu, kita memilih derita sebagai jalan hidup.

Seharusnya menjadi orang Kristen, berarti kita siap untuk bersekutu dengan Dia yang telah menekuni jalan salib. Jalan yang penuh penderitaan, jalan yang penuh siksaan, namun membawa kemuliaan, berkat yang luar biasa dan jalan keselamatan.

Ingatlah kata-kata Yesus, bahwa jalan hidup yang benar adalah jalan sempit yang menuju kehidupan. Jalan sempit itu dipilih pengikut-Nya. Sebaliknya, jalan lebar yang menuju kebinasaan dipilih mereka yang ingin hidup semaunya.

Sebagai bahan renungan kita minggu ini, tertulis di Matius 7:13 yang mengajarkan kita; “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya.”

Begitu “hitam-putih” kehidupan ditawarkan kepada kita, manakah jalan yang kita pilih. Apakah orang Kristen benar-benar tidak boleh bersenang-senang, berpesta, dan menjadi kaya? Jawabannya, ya dan tidak. Ya, pada pilihan yang memang “hitam-putih”. Sebagai pengikut Kristus, kita terikat pada Yesus Kristus. Kita memperoleh hidup berdasarkan pengorbanan-Nya di kayu salib. Jawabannya menjadi tidak, ketika kita mendefinisikan arti penderitaan itu.

Saat ini, kita tidak perlu mengalami derita fisik seperti yang Yesus alami, karena Dia yang telah mengalami-Nya untuk kita. Pengorbanan fisik yang dilakukan-Nya itu, karena kemurahan dan kasih-Nya, sehingga kita saat ini masih bisa menikmati indahnya pagi.

Yang menjadi derita kita adalah nuansa cemooh, dan fitnah. Status kita sebagai orang Kristen terkadang menjadi bahan pertimbangan utama untuk kemajuan karier, maupun di tengah pergaulan. Kita merasa minder dan khawatir jika identistas kita sebagai pengikut Kristus yang bersedia memikul salib menjadi dasar hidup kita di dalam menjalankan hidup ini.

Akhirnya derita kita justru berasal dari kebimbangan kita sendiri menyangkal diri. Kata Yesus; “Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Ketika Paskah di depan mata, sebagai anak-anak Tuhan, kita siap menjalani hidup yang bercirikan penderitaan. Dan selamat pula menikmati hidup yang dilimpahkan dengan damai sejahtera dan sukacita, dalam pengharapan. Selamat hari Minggu dan Tuhan memberikati. ***

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru dan Anggota Jemaat HKBP Sukajadi)

Selasa, 16 Maret 2010

Tidak Puas

Sudah Dimuat di Harian Metro Riau Terbitan Minggu, 14 Maret 2010

Saya baru saja membeli rumah baru yang lengkap dengan perabotannya. Hasil ini merupakan usaha suami yang gigih dalam bekerja. Sebab baru-baru ini, dia dipromosikan untuk suatu jabatan. Bulan depan, rencananya kami akan membeli mobil keluaran terbaru, sebab mobil yang ada saat ini sudah ketinggalan zaman. Sementara anak-anak bisa mendapatkan kebutuhan kuliahnya dengan berbagai fasilitas.

Sebagai ibu rumah tangga, saya ingin dipandang oleh ibu-ibu yang lain sebagai keluarga yang berada. Untuk hal ini, pernah saya utarakan kepada suami untuk dibelikan gelang dan kalung bertahtahkan berlian. Untunglah suamiku menanggapi dengan positif, sebab segala perhiasan itu untuk mengangkat kehormatannya. Sebagai isteri pejabat, tentu dia tidak ingin melihat isterinya tidak memiliki perhiasan dan baju yang mewah.

Segala peralatan elektronik rumah yang komplit, membuat anak-anak bisa menikmati tanpa harus bermain keluar rumah. Begitu juga dengan peralatan dapur yang serba luks dan lain sebagainya yang memudahkannya memasak berbagai hidangan yang enak-enak. Inilah yang menjadi keinginan sebagian kalangan ibu, di mana suami mendapatkan tawaran jabatan dan rezeki. Tiada batasan kepuasan menjadi sifat manusia.

Begitu juga harapan semua orang. Kalau dulu, dia hanya berpikir, bagaimana untuk bisa memiliki kendaraan roda dua, tentu hidup ini lebih nyaman ketimbang jalan kaki ke tempat kerja. Seiring dengan bergeraknya waktu, keinginan itu pun berubah. Setelah, dia mampu membeli kendaraan roda dua, dia masih berpikir, seandainya nanti bisa membeli mobil cukuplah sudah. Sebab dengan mobil tentu bisa ke kantor tanpa kepanasan dan kehujanan.

Terpenuhinya keinginan ini, bukan membuat manusia berhenti. Dia masih bercita-cita lagi, seandainya bisa jalan-jalan ke luar negeri, seandainya bisa shoping di luar negeri, bisa menikmati pelayanan hotel berbintang di luar negeri dan lain sebagainya. Segala keinginan ini membuat manusia terkadang hanya memikirkan jalan untuk mendapatkannya. Hati manusia berkecamuk untuk berusaha memiliki semua itu.

Amsal 15:16-17, “Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan, daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Lebih baik sepiring sayur dengan kasih daripada lembu tambun dengan kebencian.”

Ayat ini menggambarkan betapa kesederhanaan hidup, namun selalu menyenangkan hati Tuhan lebih berarti daripada kita memiliki harta yang berlimpah yang hanya mendatangkan kecongkakkan. Kesederhaan membuat kedamaian dan kesejukkan.

Coba kita lihat, seorang anak saja sudah berpikir ingin menguasai segala macam permainan yang ada di toko mainan. Mereka bercerita dengan teman-temannya, bahwa di rumahnya sudah ada permaianan yang begitu canggih. Teman yang lain ternyata melebihi anak yang pertama, anak yang lainnya lagi bahkan lebih hebat lagi permainan elektroniknya.

Ternyata anak yang pertama tadi menginginkan permainan seperti punya teman-teman yang lebih canggih itu, bahkan kalau bisa melebihi mereka. Bentuk ketidakpuasan kebutuhan ini sudah terlahir sejak manusia lahir. Jadi tidak salah kalau sifat kurang puas ini akan dirasakan sepanjang hayatnya.

Terkadang apa yang kita pikirkan, kita cita-citakan itu bisa terwujud. Tetapi banyak juga orang yang di tengah jalan menemukan kesulitan dan penderitaan hidup. Sebab tidak semua persoalan hidup menjadi happy ending.

Ketika kebahagiaan hidup dengan ukuran segala keinginan terpenuhi, maka terjadilah kebahagiaan hidup, namun belum tentu berhenti di batas itu. Sedangkan bagi yang tak terpenuhi tentu hanya berupa kekecewaan. Hujatan pun terlontar, menyalahkan orang lain bahkan terkadang menyalahkan Tuhan yang tidak sayang kepada kita.

Sedangkan bagi mereka yang meraih segalanya itu, namun di tengah jalan harus menderita, banyak yang menjadi stress. Mereka terkadang setelah tumpur dari kejayaan hidup duniawi memilih jalan pintas. Bunuh diri jadi kebanggaan. Bunuh diri jadi tradisi orang-orang stress dan yang tidak mempunyai Tuhan di hatinya.

Ketika kebahagiaan diraihnya, manusia bukannya puas. Malah semakin buas. Terkadang Tuhan menguji langkah manusia itu, terkadang lagi, langkah manusia tidak semulus yang ada pada pikirannya. Banyak duri, banyak rintangan dan persoalan menjadi bunga-bunga kehidupan yang mesti dilewati.

Namun ketika semuanya terpenuhi, manusia bukan memilih berhenti. Manusia malah semakin ingin memiliki lebih dan ingin berkuasa. Misalnya saja, setelah dipercaya dengan jabatan tertentu di sebuah tempat kerja, orang tersebut tidak berhenti sampai di sana. Dia masih menginginkan jabatan yang lebih tinggi lagi. Bahkan berniat dialah yang seharusnya memegang pimpinan.

Setelah jabatan pimpinan didapat, bukannya membuat manusia berhenti. Dia masih mencari cela bagaimana mendapatkan kekayaan yang lebih daripada tetangganya. Dia memikirkan bagaimana memperoleh uang yang berlimpah, walau dengan memanfaatkan jabatannya untuk melakukan korupsi. Sehingga terkadang mata menjadi gelap dan ingin mengusai sebanyak-banyaknya.

Tidak adanya kepuasan membuat manusia tersandung dengan dukacita. Kalau saja Presiden Soeharto (presiden kedua bangsa Indonesia) tidak terlena menikmati jabatan presiden tentu dia mendapat tempat di hati bangsa ini, tentu berbagai kasus yang melilitnya itu tidak akan terjadi.

Terlena menikmati kemewahan dan kesenangan hidup membuat manusia melupakan pegangan dasar hidupnya. Walaupun dia rajin beribadah, terkadang kekhusukannya melayang-layang di antara nafsu. Pikirannya pada kekuasaan, sehingga di tempat ibadah pun ingin diperlakukan sebagai penguasa.

Tidak jarang orang-orang seperti ini memperoleh tempat spesial di tengah-tengah peribadahan kita. Mereka begitu dihormati dibandingkan dengan jemaat yang miskin. Pada hal di mata Tuhan mereka itu sama, bahkan bisa jadi si orang miskin ini yang mendapat tempat di hadapan Tuhan. Sebab pikiran si miskin untuk beribadah adalah tulus, sedangkan sebaliknya si pejabat yang memiliki kekuasaan itu berpikiran menyimpang di hadapan Tuhan.

Kebahagiaan hati manusia yang hanya mengandalkan jalannya, tentulah tidak seindah yang dibayangkan. Sebagai umat Tuhan, seharusnya Tuhanlah yang menentukan arah langkah kita. Kita tak akan bisa melangkah tanpa bimbingan-Nya.

Jangan sekali-kali kita memikirkan hanya hati kitalah yang menentukan langkah kita. Jangan kita memikirkan dan mengandalkan kemampuan sendiri tanpa menyertakan Tuhan di dalam hidup kita.

Sebagai bahan renungan Minggu ini tertulis pada Amsal 16:8-9 "Lebih baik berpenghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada penghasilan banyak tanpa keadilan. Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.

Sebagai anak-anak Tuhan, kita tak perlu rendah diri karena gaji dan kemampuan kita tidak sehebat orang lain. Ingatlah selalu untuk selalu hidup dalam kebenaran. Hidup suci hanya dengan firman Tuhan di dalamnya. Selamat hari Minggu dan Tuhan memberkati.

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru

dan Anggota Jemaat HKBP Sukajadi)

Hati dan Perkataan


Sudah Dimuat di Harian Metro Riau Terbit, Minggu 7 Maret 2010


“Saya sangat benci dengan dia, sebab selalu saja di kantor mau menang sendiri, mau perkataannya saja yang hanya didengar, sok berkuasa, sok pintar, sehingga tidak mau mendengar pendapat dan usul orang lain. Tapi anehnya, dia tidak sadar dengan tingkah lakunya itu. Sebenarnya, orang banyak yang tidak suka bergaul dengannya. Walaupun dipaksakan bergaul dengannya, paling hanya sekedar. Saya sudah muak melihat perangainya yang egois itu dan tidak mau mendengar pendapat orang lain”.

Hal ini sering kita dengar dalam kehidupan di kantoran. Interaksi ini tidak bisa lepas
dari kehidupan kita. Rasa benci, kesal dan muak menyertai segala pertemanan kita. Bahkan terkadang sampai menimbulkan sakit hati yang begitu mendalam. Interaksi ini membuat kita memendam perasaan benci. Perasaan yang seharusnya tidak mengotori hati. Perasaan yang senantiasa membawa damai daripada permusuhan.

Bahkan dari setiap interkasi itu, tidak jarang mendatangkan permusuhan. Hanya persoalan sepele dari sebuah interaksi hubungan persahabatan dan persaudaraan berantakan tidak karuan. Memandang persoalan itu sebagai hal yang penting diingat dan terus diletakkan di memori otak kita. Sementara interaksi perbuatan kasih jarang kita “konek-kan” dan pasang di hati dan pikiran.

Setiap hari, kita berinteraksi dengan banyak orang. Di keluarga, di tempat kerja, di sekolah, atau dimanapun kita akan membuat hubungan dengan begitu banyak orang. Tidak jarang, tiba-tiba timbul persoalan atau juga konflik dalam hubungan kita dengan orang lain.

Tapi, itulah hidup! Namun, bagaimana kita menyikapi konflik tersebut? Apakah kita percaya bahwa Tuhan bisa memakai orang-orang di sekitar kita, bahkan yang sedang berkonflik dengan kita, untuk membentuk karakter dalam hidup kita? Jika kita ingin memaknai hidup dengan cara seperti itu, kita perlu prinsip hidup.

Pertama kita perlu menjaga hati supaya kehidupan kita senantiasa bersih. Sebab melalui hati akan terpancar sinar kehidupan. Tuhan bisa dengan gampangnya melihat setiap hati kita. Walau manusia tidak bisa membaca dan melihat hati seseorang, namun Tuhan sanggup mengetahuinya.

Ketika kita menerima kata-kata atau perlakuan yang menyakitkan, jagalah hati. Jika kita bisa menjaga kondisi hati kita untuk tidak mudah terpengaruh emosi dan tindakan orang lain, kita akan mampu melepaskan belenggu sakit hati.

Tidak jarang kita menyaksikan di antara teman di kantor, di sekolah atau di rumah dengan saudara-saudara, kita terpancing emosi. Emosi yang kita ciptakan dan lahirkan dalam hidup, merupakan bentuk dari belum bersihnya hati. Gejolak emosi yang menggebu kerap membuat kita merasa stress dan dengan mudahnya mengumbar kata-kata, apalagi kalau sampai kata-kata itu menyakitkan.

Dari perkataan orang, kita bisa melihat hati orang tersebut. Dari hati, ketulusan akan terpancar menyinari kehidupan kita sehari-hati. Seorang anak dengan senang hati bila disuruh gurunya mengambilkan atau membawa bukunya. Perintah guru tersebut dengan senang hati dikerjakan murid.

Bahkan di sekolah, hampir setiap siswa ingin mendapat perintah dari guru, baik dalam hal membawakan buku atau pun disuruh ke kantor majelis guru untuk mengambilkan sesuatu. Ketulusan dan kesenangan hati mereka bisa kita lihat. Bahkan tanpa disuruh gurunya mengambilkan buku ke kantor, beberapa siswa sudah ada yang langsung datang ke kantor untuk menawarkan jasa membawakan buku-buku pelajaran itu.

Hal ini akan bertolak belakang, jika di rumah, orang tuanya menyuruh si anak tadi mengambilkan sesuatu, lebih banyak yang menolak bahkan membangkang. Kalaupun ada anak yang langsung mengambilkan sesuatu bila disuruh orang tuanya, namun tidak jarang berupa paksaan di hati. Mereka lebih rela dan senang hati bila disuruh gurunya.

Tuhan rindu melihat ketulusan hati kita di dalam menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Tuhan begitu tersenyumnya melihat kita mampu melakukan sesuai dengan keinginan-Nya. Dia senantiasa menunggu ketulusan hati kita untuk mau sadar beribadah ke gereja.

Namun terkadang secara tidak kita sadari, kita lebih memilih ketulusan hati mengikuti kehendak dan kemauan iblis. Kita merasakan bila mengikuti iblis segala bentuk kesenangan akan terjadi. Pada hal sebaliknya bakalan bencana dahsyat sedang mengintai kehidupan kita.

Kedua menjaga perkataan. Perlunya menjaga hati sama berartinya menjaga perkataan. Bila kita mampu menjaga hati kita, tentu secara otomatis kita bakalan mampu menjaga perkataan kita. Terkadang kita tidak menyadri kalau perkataan kita telah menyakiti orang-orang di sekitar kita.

Berbicara yang seenaknya mengumbar kata-kata terkadang menjebak kita masuk pada jurang kehancuran, baik hancurnya persahabatan, kepercayaan yang jelas-jelas merugikan pertemanan hidup kita.

Lain lagi dengan seseorang yang mampu mengendalikan perkataannya. Tentu akan disenangi teman-teman dan orang-orang di sekitarnya. Berbicara dengan lemah lembut, menjaga perasaan hati orang lain tentu mendatangkan mafaat besar bukan saja bagi diri kita juga bagi orang lain.

Tuhan sangat memberi tempat kepada orang-orang yang menjaga perkataannya. Sebab melalui perkataan terkadang orang menyakiti saudara-saudaranya. Bahkan sebuah ungkapan mengatakan bahwa perkataan jauh lebih tajam dari mata pisau. “Jagalah lidahmu, jagalah ucapanmu”, sering kita dengar berupa nasihat ini.

Dengan menjaga lidah kita tetap suci, tentu kata-kata yang keluar tidak sampai menyakitkan hati teman-teman dan Tuhan. Kita tidak hanya perlu memperhatikan apa yang kita ucapkan, tetapi juga cara mengucapkannya. Ada kalanya hanya karena salah ucap, atau nada suara dan ungkapan sinis bisa memancing sebuah pertengkaran. Hindarilah perkataan-perkataan yang tajam dan tidak perlu.

Kasar dan tajamnya perkataan kita hanya orang lainlah yang dapat menilainya. Sebab kita tidak akan menyadari kalau kata-kata yang keluar dari mulut kita telah menyinggung dan menyakiti hati orang lain. Terkadang secara tidak sadar, kita menyakiti hati teman-teman sekerja. Tidak jarang juga, seseorang yang ingin selalu perkataannyalah yang bagus dan harus didengar tanpa memperhitungkan orang lain. Kondisi ini membuatnya semakin sinis dan sombong.

Hal yang terakhir, janganlah menunjukkan perkataan yang sombong. Tidak perlu memuji diri karena sebuah perbuatan yang pernah kita lakukan. Sikap rendah hati adalah kunci dalam menjalin komunikasi yang positif. Belajarlah untuk bersukacita ketika orang lain menerima pujian, sekalipun saat itu, kita pun layak menerimanya.

Sering terjadi dalam kehidupan kita, di mana kita merasa iri melihat seseorang berhasil dalam tugas atau dalam kariernya. Bahkan kita terkadang mengatakan di hati bahwa kita juga mampu melakukannya. Kalaupun memang kita mampu dan bisa juga melakukan keberhasilan apa yang diperbuat orang itu jangan sampai terjadi iri yang berlebih.

Perlunya kebesaran hati memberikan selamat dan pujian kepada teman yang berhasil itu. Sebab hal ini akan menghidari kita dari rasa iri dan dengki. Janganlah kita senang bila orang lain sengsara dan menderita, sementara kita begitu bencinya melihat prestasi orang lain.

Yang perlu kita tanamkan untuk mewujudkan semuanya itu adalah untuk mau belajar setiap hari untuk mendatangkan damai sejahtera bagi setiap orang. Jangan merasa iri dan tersaingi, ciptakanlah damai sejahtera tanpa ada muatan yang lain di dalamnya. Hal ini tentu akan membuat hati kita bertambah bersih dan tidak ternoda. Perkataan yang keluar juga tentulah yang menyejukan dan membawa kebahagiaan bukan pada dirinya sendiri juga pada orang lain.

Sebagai bahan renungan kita minggu ini tertulis dalam Alkitab pada 1 Tesalonika 4:12 yang isinya " ...sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka." Selamat hari Minggu dan Tuhan memberkati. ***

Erwin Hartono, S.Pd

(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

Nilai Kelompok Mading VIA3 2009-2010



Theophany (86)

Vivien (86)

Janice (86)

Vincent (85)

Setyadi (85)

Fyero (85)

Jonathan (85)

Wilfo (84)

Weidya (84)

Yori (84)

Stieven (84)

Yoko (84)

Hansen (82)

Ryan H (83)

Hanna Putri (83)

Jesi Mela (83)

Clarice (83)

Jesika Aurora (83)

Imanue Belly (83)

Rhove (83)

Winarto (83)

Ryan Noverto (82)