Sabtu, 26 September 2009

Puisi-Puisi Karya Erwin Hartono Dimuat di Riau Mandiri April 2009


Kontrak Lima Tahunan

Setelah pesta demokrasi
Selesai kita tunaikan
Selesai sudahkah janji-janji itu?
Setelah harapan diperoleh
Selesai kampanye dilaksanakan
Selesai disinikah pidato-pidato perubahan itu?
Sederet pekerjaan rumah
Harus segera dikerjakan
Sebab mulai dipertanyakan
Sederet kata-kata
Yang pernah terlontar
Mulai ditagih
Setumpuk kertas kerja
Tercatat dalam memori janji
Mesti direalisasi
Sebab dosa
Akan menimpa diri
Bila mengelak dari janji
Kuatkanlah akar iman
Janganlah tergoda
Janganlah biarkan nista tanganmu
Di dalam memutuskan
Janganlah biarkan rusak kata-katamu
Di dalam merumuskan ide-ide
Untuk kepentingan rakyat
Saat ini…..
Di tangan para dewan
Nasib negeri ini kita serahkan
Sebagai kontrak lima tahunan
Untuk diperjuangkan
Untuk membawa pembaharuan
Memberikan kesejahteraan
Bagi masyarakat
Sedang ditunggu-tunggu.

Pekanbaru, 10 April 2009



Matahari Bangsa

Matahari telah terbit
Dengan cahaya yang terang bersinar
Dari proses demokrasi negeri ini
Yang akan membawa perubahan
Pada bangsa besar ini
Matahari bangsa ini
Jangan surutkan sinarmu
Jangan biarkan redup
Ditutupi awan kegelapan
Jangan gelapkan matamu
Hanya demi upeti
Sebab kontrak politik ini
Dipercayakan di tanganmu
Majulah matahari bangsa
Selangkah pun jangan pernah mundur
Sedetik pun jangan pernah lupa
Akan perjuangan
Membawa bangsa ini
Keluar dari penderitaan
Teruslah berlayar matahari bangsa
Jangan pernah pulang
Sebelum tujuan dapat diperoleh
Jangan pernah berlabuh
Sebelum angin perubahan menerpa
Berlayarlah di tengah lautan kehidupan
Selami dasar samudera persoalan
Jangan pernah menyerah
Perjuangkan terus
Kepentingan rakyat.

Pekanbaru, 10 April 2009



Arti Kepercayaan

Kutunggu aksimu
Para dewan terhormat
Di tapal batas Kota Bertuah ini
Untuk bawa perubahan
Kutunggu caramu atasi tugas mulia
Di muara Sungai Siak
Yang telah memberimu dahaga
Selama ini
Lihatlah selalu rakyatmu
Jangan biarkan undang-undang
Dan peraturan hanya untungkan
Sekelompok orang saja
Jangan biarkan kebijakan pemerintah
Yang selalu merampas hak rakyat kecil
Lihatlah para buruh lusuh itu
Tengoklah para petani dan pemulung
Lirih hidup masyarakat miskin yang papa
Tak ada pekerjaan
Tak ada masa depan
Terlunta-lunta dilautan sampah
Terlunta-lunta akibat kebijakan yang tak berpihak
Pada akar yang miskin
Di makan mesin zaman ini
Di tanganmu
Para dewan terhormat
Bisa wujudkan arti kepercayaan itu.

Pekanbaru, 10 April 2009



Pengawal Pentas Kehidupan

Aku hanyalah penyair
Dalam politik selama ini
Aku hanya tetap mempermainkan kata-kata
Dibelantara kehidupan ini
Lautan politik hanyalah sebuah goresan
Pada kanvas lukisan
Pengalaman untuk di-syairkan
Aku tetaplah penyair
Bukan politikus
Aku ingin hidup bebas
Bersama burung-burung gagak kota ini
Bermain dipanggung dagelan
Bersandiwara dalam dunia pentas
Membawakan sosok dewan
Yang rindu akan perubahan
Aku tetaplah penyair
Pengawal pentas panggung kehidupan.

Pekanbaru, 10 April 2009

Menurut dan Mendengar


Diterbitkan di Harian Metro Riau (Minggu 26 Juli 2009)



Suatu hari, Amson menyesal akan segala perbuatannya yang tidak mau mendengar pesan dan nasihat orang tuanya dulu. Pada hal nasihat orang tuanya itu demi kebaikannya. Ketika masih kanak-kanak, Amson sering membantah nasihat orang tuanya. Tidak jarang dia melanggar dan melawan orang tuanya.
Ketika disuruh belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah, Amson selalu mengelak. Amson tidak senang disuruh dan dipaksa belajar. Dia ingin bebas menentukan hidupnya. Sampai-sampai Amson harus putus sekolah.
Hal ini bukan karena orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya, melainkan, Amson tidak mau menurut dan mendengar nasihat orang tua dan orang lain. Dia memilih tidak perlu sekolah. Sebab dia melihat, sekolah hanya menyiksa dirinya untuk mematuhi peraturan sekolah dan segala persoalan belajar yang paling dibencinya.
Amson merupakan anak kesayangan orang tuanya. Sehingga dia selalu dimanja kedua orang tuanya. Segala keinginannya, ketika masih kecil selalu dipenuhi. Maklumlah keluarga Amson termasuk keluarga berada. Amson merasa menang dengan dimanja kedua orang tuanya. Namun Amson telah salah menafsir kasih sayang orang tuanya.
Anak-anak zaman sekarang banyak yang seperti Amson. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas dengan sangat gampang. Sayangnya, anak-anak sekarang tidak penurut dan tidak mau mendengarkan orang tuanya lagi. Mereka banyak yang melawan nasihat orang tuanya.
Tidak jarang mereka mendapat celaka dari ketidakmauan mendengar nasihat tersebut. Tetapi hal ini tidak membuat anak-anak zaman sekarang jera. Kalaupun jera, “nasi sudah jadi bubur”, terkadang banyak yang terlambat untuk jera dari kesalahan hidup yang tidak mau menurut dan mendegar nasihat orang tua.
Kalau sudah seperti ini, orang tualah yang repot. Mau menyuruh sekolah saja harus dipaksa dan dibujuk dengan berbagai hadiah. Tidak adanya kesadaran membuat mereka merasa hebat; bisa mendapat hadiah dan uang jajan yang besar kalau mau sekolah, mau menurut dan mau mendengar orang tua. Anak-anak ini tidak tahu, pada hal itu demi masa depannya.
Hingga dewasa pun, terkadang dia tetap tidak mau menurut dan mendengarkan kedua orang tua dan nasihat orang lain. Akhirnya Amson harus mengakhiri masa lajangnya. Dia menikah dengan gadis yang tidak disetujui orang tuanya. Sebab orang tuanya melihat Amson dalam memilih jodoh tidak berdasarkan doa kepada Tuhan untuk diberikan jodoh yang baik. Dia tidak mempertimbangkan nasihat orang tua dan orang lain. Pada hal membina rumah tangga itu sulit, apalagi kalau salah memilih jodoh.
Akhirnya rumah tangga dan kehidupan Amson berantakan. Amson tidak mampu memanej rumah tangga yang berdasarkan firman Tuhan, lantaran isterinya juga seorang anak yang manja. Isterinya tidak mau menurut dan mendengar suaminya. Dia lebih mau mendengar orang tuanya dibanding suaminya. Isterinya tidak mau diatur suaminya, dia lebih percaya diatur oleh orang tuanya.
Pada hal seharusnya isteri Amson mendengarkan perkataan suaminya. Menurut pada suaminya. Ini malah sebaliknya, Amsonlah yang dituntut isterinya yang egois itu untuk menurut pada kehendaknya.
Akhirnya Amson termakan oleh perbuatannya yang tidak mau menurut dan mendengar nasihat orang lain. Amson mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Dia mendapatkan isteri yang tidak penurut, bahkan pembangkang. Isterinya menganggap suaminya tidak berhak mengatur dirinya. Dialah yang harus didengar dan dituruti suaminya.
Rumah tangga ini harus kandas di tengah jalan. Amson memilih menceraikan isterinya yang pembangkang itu daripada membinanya secara sia-sia karena sudah salah dasar binaan dari orang tua isterinya. Akhirnya Amson mendapatkan imbalan hidup yang menyedihkan dan memprihatinkan yang ditanamkannya selama hidup. Demikian juga isterinya yang pembangkang itu harus menerima imbalan serupa. Dia menjadi janda karena tidak mau menurut dan mendengar suaminya. “Apa yang ditanam, itulah yang dituai” demikian penjelasan Alkitab.
Hal melawan dan memberontak ini juga terjadi di dunia kerja. Sering kita mendengar banyak karyawan dan pegawai yang memberontak kepada atasan atau pimpinannya. Banyak juga di antara karyawan dan pegawai itu yang saling memberontak sesama karyawan dan pegawai.
Saat ini, banyak orang yang tidak mau menurut dan mendengar nasihat orang lain. Sesama teman sekerja saja kita banyak yang memberontak dan tidak saling menyenangi. Seorang merasa lebih hebat dari yang lain, pada hal kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan tidak disadarinya. Sok berkuasa telah menggelapkan mata hatinya, bahkan menganggap dialah yang jago, dialah yang hebat, orang lain dianggapnya sebelah mata. Orang seperti ini sudah lari dari firman Tuhan.
Suatu hari, saya berbincang dengan teman di sebuah kantin makanan. Kami memperbincangkan bagaimana Abraham memiliki ketulusan hati. Seandainya manusia saat ini memiliki hati seperti Abraham, tentu saja egois dan kesombongan tidak ada. Ambraham tidak pernah membalaskan kejahatan orang dengan kejahatan. Dia memiliki hati yang mulia. Dia memiliki pengampunan, itulah sebabnya Tuhan memberkati hidup Abraham.
Namun kenyataannya, hamba Tuhan saja saat ini banyak yang sudah menyimpang. Mereka hidup sombong, egois dan suka menjelek-jelekkan orang lain. Mereka tidak sadar lagi dengan tingkah lakunya. Atau bahkan menganggap sudah merasa benar dan sempurna. Dia tidak mau lagi mendengarkan orang lain disekitarnya. Dia sudah merasa bahwa dialah yang harus didengar.
Celakanya, dia tidak menyadari bahwa tindakan dan tingkah lakunya selama ini sudah tidak disenangi seluruh teman-teman sekantornya. Bukan karena dia tidak pintar tetapi karena dia tidak mau mendengar orang lain dan harus dialah yang didengar.
Manusia masih memiliki kesombongan untuk tidak mau mendengar. Apalagi orang yang mau di dengar itu dianggapnya tidak memiliki kepintaran seperti dirinya. Orang lain dianggapnya hanyalah seorang kampungan yang tidak tahu apa-apa. Orang kampung yang kebetulan bernasib bekerja bersamanya. Pada hal dalam Alkitab tertulis janganlah kita menyombongkan diri.
Terkadang karena merasa pintar dan kaya, banyak orang yang tidak mau mendengar orang lain yang ada dilevel bawahnya. Orang lain di level bawahnya itu dianggapnya ‘sampah’ dan tidak boleh menasihatinya. Sebab menurutnya, orang yang di bawah levelnya itu hanya banyak cerita saja, sementara dirinya sendiri tidak bisa keluar dari kemiskinan, makanya dia tidak mau mendengar si orang miskin lagi.
Inilah yang salah. Si orang kaya tadi menganggap remeh kepada sesamanya ini. Dia tidak menyadari bahwa Tuhan akan merendahkan orang yang menyombongkan diri, dia akan dipermalukan dalam hidup sosialnya, sementara si orang miskin ini akan ditinggikan.
Hal ini terbukti dari sebuah kesaksian berikut; Ketika itu, Toni berasal dari keluarga yang sederhana. Bahkan bisa dikatakan jauh berbeda dengan keluarga mertuanya. Suatu ketika keluarga mertuanya menghinanya habis-habisan. Toni hanya dapat berserah kepada Tuhan. Sebab baginya, Tuhanlah yang memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini.
Dia tidak minder, sebab dia tidak pernah meminta-minta kepada orang lain. Dia seorang yang mandiri. Dia memiliki komitmen dan harga diri. Ternyata Tuhan memberikan balasan kepada mertuanya yang sombong dan egois itu. Di masa-masa akhir dinas mertua Toni, mertuanya mendapatkan masalah. Ternyata mertuanya yang menjadi pejabat di salah satu kabupaten di Riau itu memiliki hidup tidak suci bahkan seperti ‘sampah’ seperti yang pernah diucapkannya kepada menantunya. Mertuanya itu sudah mempunyai cucu, tetapi malah memiliki isteri simpanan (teman kumpul kebo).
Pada hal mertua Toni ini adalah orang terpandang, dan pemuka agama di sektenya. Ternyata semuanya itu hanyalah simbol untuk mengelabui mata dunia ini. Tuhan tahu segala perbuatan kita, inilah yang tidak disadari mertua Toni. Akhirnya mertuanya itu mendapatkan balasan sesuai apa yang diperlakukannya kepada Toni.
Sebelum kita terjerumus jauh karena tidak mau menurut dan mendengarkan nasihat, ada baiknya kita renungkan kutipan ayat Alkitab berikut ini; Yesaya 1:19-20 “Jika kamu menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil baik dari negeri itu. Tetapi jika kamu melawan dan memberontak, maka kamu akan dimakan oleh pedang.”
Hal ini memberikan pelajaran rohani buat kita, bahwa apa yang kita tanam, itulah yang kita petik. Kalau kita selalu menyombongkan dan meninggikan diri, maka kita akan direndahkan dan dipermalukan. Sebagai anak-anak Tuhan, sebagai hamba Tuhan, kita hendaknya membuka telinga. Anak-anak mau mendengar nasihat orang tua dan gurunya, isteri hendaknya mau menurut dan mendengarkan suaminya bukan malah menundukkan suaminya dan memberontak kepadanya. Mulai saat ini, kita tanamkan untuk mau menurut dan mendengar nasihat yang baik ini. Tuhan memberkati kita semua, selamat hari Minggu.
Erwin Hartono, S.Pd
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

Kekayaan dan Dosa


Diterbitkan di Harian Metro Riau (Minggu 26 Juli 2009)

Matius 6:19-21; “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkan bagimu harta di sorga, di sorga ngengat dan karat tidak merusaknya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.“
Manusia mana yang tak ingin kaya. Hanya manusia bodohlah yang tidak ingin kaya. Manusia tololah yang tidak senang mendapatkan uang. Bahkan kalau saja ada orang yang tidak merasa senang bila mempunyai uang yang banyak berarti orang tersebut tidak normal alias gila.
Manusia berlomba-lomba untuk mencari kekayaan. Tidak jarang manusia saling sikut untuk mendapatkannya. Bahkan ada kalanya manusia itu menindas dan mematikan hak-hak orang lain supaya dia mendapatkan bagian lebih. Dalam Alkitab banyak kisah tentang kerakusan manusia ini.
Tentang mengumpul kekayaan, di mana manusia saling berlomba-lomba tidaklah salah. Tuhan tidak menghendaki manusia hidup melarat. Dia senang melihat kehidupan manusia itu mapan dan berkecukupan.
Tetapi manusia yang memiliki sifat tidak puas, selalu merasa kurang walaupun berkat-berkat sudah banyak tercurah kepadanya. Akhirnya berkat-berkat yang tercurah itu memang benar-benar tidak pernah cukup. Sebab apa yang dipikirkan manusia itu bisa menjadi kenyataan. Manusia selalu berpikir merasa kurang, akibatnya benar-benar selalu mengalami kekurangan walaupun sudah banyak berkat yang tercurah padanya.
Pilatus contohnya dalam ilustrasi cerita berikut ini. Dia sebenarnya sudah memiliki penghasilan yang cukup memadai, namun masih saja tetap mencari penghasilan tambahan. Dia merasa penghasilannya yang lumayan besar itu bagi sebagian orang belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Maka setelah pulang dari pekerjaan pokoknya sebagai direktur pada sebuah perusahaan besar, dia bekerja juga di tempat lain pada sore dan malam hari. Sah-sah saja keinginan seperti itu.
Pilatus harus mengorbankan untuk berkumpul dengan keluarganya demi uang. Dia bahkan sangat jarang ke gereja pada hari Minggu demi bekerja lembur. Dia jarang menghadiri pertemuan-pertemuan gerejanya. Dia sudah menghambakan dan menomor satukan uang dalam hidupnya.
Semakin kekayaannya banyak, Pilatus semakin tidak puas dan kemaruk. Tidak ingat untuk berhenti dan terus merasa kurang. Kurang dan hanya kekuranganlah yang dirasakannya sepanjang hidupnya. Pilatus memiliki sifat yang tak pernah puas, selalu kurang. Inilah yang salah dalam dirinya.
Pilatus tidak menyadari bahwa kekayaan dan berkat-berkat yang menaungi keluarganya itu adalah anugerah dan kasih Tuhan. Tuhan memberikan kasih-Nya pada Pilatus untuk memiliki kesempatan mengelola kekayaan dan menikmatinya. Namun dia terlalu mencintai harta dan uang.
Pilatus telah menganggap mencari uang atau kekayaan lebih penting daripada gereja. Dia melihat uang itu lebih menjanjikan daripada mencari kerajaan Tuhan. Menurutnya, kalau memiliki banyak uang dan kekayaan, kehormatan dan Tuhan itu bisa dibeli.
Kala itu ada sebuah komsel ibadah di rumahnya. Namun Pilatus lebih memilih mencari uang. Pada hal kalau dipikir-pikir, kekayaan Pilatus itu sudah berlimpah. Dia memiliki tiga buah rumah yang besar-besar, berpuluh hektar tanah serta kebun sawit dan dua unit mobil merk keluaran terbaru. Tetapi tetap saja dia masih menganggap kurang dan cinta uang.
Dia menganggap uang dan kekayaan adalah segala-galanya yang mampu membahagiakan hidup dan keluarganya. Namun dia tidak menyadari bahwa kekayaannya itu adalah anugerah Tuhan. Kekayaannya itu sifatnya sementara.
Seharusnya dia mensyukuri berkat-berkat Tuhan. Seharusnya dia lebih banyak lagi mendengar dan belajar firman Tuhan. Kalau kita tidak pernah mensyukuri berkat-berkat Tuhan, kita tidak akan pernah merasakan terpuaskan.
Akhirnya, suatu kali anak Pilitus masuk rumah sakit dan dia terkena PHK dari dua pekerjaanya itu lantaran diketahui menggelapkan uang perusahaan. Anak Pilitus harus cuci darah sekali seminggu. Sementara Pilitus sudah kehilangan pekerjaannya. Bahkan rumah dan kekayaannya sudah digadaikannya. Utangnya di mana-mana.
Tuhan berkehendak lain pada kehidupan Pilatus. Dia mendapatkan cobaan sebab terlalu mencintai uang daripada Tuhannya sendiri. Dia lupa akan kerajaan sorga. Dia lupa untuk berbagi dengan orang lain.
Sejak dia memiliki kekayaan dunia, sekali pun tidak pernah memberi kepada orang lain untuk ikut merasakan kebahagiaan bersama. Bahkan keluarganya sendiri disingkirkannya. Pada hal keluarganya itu sangat mengharapkan uluran tangan Pilatus. Dia tidak mau dibebani keluarganya, dia tidak mau menjadi sandaran hidup saudara-saudara kandungnya sendiri.
Bahkan bukan dalam dunia rumah tangga saja peristiwa ini terjadi. Di dunia kerja pun dapat terjadi. Kalau persoalan membagi tugas atau perkerjaan, tidak ada seorang pun yang berkehendak memperoleh pekerjaan lebih banyak tetapi gaji lebih sedikit. Kalau bisa kerja sedikit tetapi gajinya besar.
Sedikit saja berkurang dari jasa yang diberikan, protes. Kekurangan tidak boleh terjadi. Lebih pun diberikan, tetap saja selalu kekurangan.
Kita tidak boleh memandang hanya kekurangan saja. Hal ini akan menimbulkan kecemasan dalam hidup. Hidup jadi penuh kekhawatiran. Hidup menjadi tidak tenteram, akan ada saja yang kurang.
Kalau rekan kerja kita mendapatkan rezeki dari yang dikerjakannya kita malah iri. Kok dia bisa dapat. Malah kita menginginkan harus mendapat sesuatu yang melebihi orang lain.
Sifat buruk, rakus seperti ini sangat sering terjadi. Misalnya saja pada pembangian jatah kupon. Sudah dapat kupon belanja satu, malah ingin mendapatkan lebih. Tidak pernah merasa cukup menjadikan kita selalu kekurangan. Coba sekali-kali kita mengatakan “cukup” Tuhan akan menambahkannya. Sebab apa yang kita yakini di hati bisa terwujud. Mengapa kita merasa kekurangan terus karena memang kita selalu mengatakan kurang dalam hati dan doa kita. Yang perlu untuk saat ini, cobalah memulai dan menganggap berkecukupan dalam hidup.
Tidak salah jika kita mengatakan syukur atas kekurangan itu, Tuhan akan menambahkannya. Sebab uang bukan segala-galanya dalam hidup ini. Uang tidak bisa menggantikan hidup kita. Kalau Tuhan mau, Dia bisa langsung mengambil semuanya itu dalam diri kita dalam sekejap mata.
Sebagai umat Kristen, kita tentu tidak ingin hanya mencari kekayaan duniawi saja. Kekayaan di sorga adalah pundit-pundi kekekalan. Tuhan tidak pernah mengambil harta di sorga yang diperuntukkan untuk kita yang percaya.
Kekayaan di sorga tidak bisa dibeli. Uang disorga bukan dari hasil pemerasan, korupsi, dan cara-cara yang tidak benar lainnya. Uang di sorga mampu membeli kebutuhan hidup. Tidak ada kekurangan harta dan uang di sorga.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga dalam hidup ini. Sebagai bahan renungan kita minggu ini diambil dari kitab Pengkhotbah 5:9-14; “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain daripada melihatnya? Enak tidurnya orang berkerja baik ia makan sedikit maupun banyak, tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak akan membiarkan dia tidur. Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari, kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri. Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada suatu pun padanya untuk anaknya. Sebagaimana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan pergi, telanjang seperti ketika ia datang dan tak diperolehnya dari jerih payahnya suatu pun yang dapat di bawa dalam tangannya.” Selamat hari Minggu, Tuhan memberkati. ***


Erwin Hartono, S.Pd
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

Manusia yang Serakah


Diterbitkan di Harian Metro Riau (Minggu 19 Juli 2009)



Kejadian 1:1-2 “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong, gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Renungan ini mengantarkan kita pada Mimbar Kristen Minggu ini, di mana betepa Tuhan menciptakan segala sesuatunya itu indah, tanpa cela bagi kelangsungan hidup manusia.
Tuhan menciptakan bumi dan segala isinya untuk kehidupan manusia. Dia menyediakan tanah yang subur untuk ditumbuhi beraneka tumbuhan sebagai bahan keperluan manusia. Tuhan menyediakan air yang jernih serta hutan dan gunung yang memberikan keindahan dan kedamaiannya. Sehingga manusia bisa menikmati air jernih dan sejuknya udara di dunia ini.
Tuhan tahu itu baik dan berguna bagi manusia sehingga seluruhnya itu diserahkan kepada manusia untuk dikelola. Manusia hanya menjadi pengelolanya. Tidak ada seorang manusia yang bisa mengklaim sepetak tanah pun yang merupakan hasil jerih payahnya dan miliknya. Manusia tidak menciptakan tanah, sehingga tanah yang kita diami ini adalah milik Tuhan sebagai penciptanya.
Tuhanlah pemilik sertifikat atas dunia ini, sedangkan manusia hanya sebagai pengelolanya saja. Apabila Tuhan tidak berkenan lagi, dia bisa mengambil bumi ciptaannya. Sebab sertifikat hak ciptanya ada di Surga. Namun Tuhan tidak akan menelantarkan umat manusia, karena keserakahan hanyalah milik manusia.
Sebagai umatnya, kita adalah pengelola alam semesta ini. Sebagai pengelola alam semesta, kita dipercayai mengelola untuk sementara waktu saja atas tanah ciptaan-Nya ini. Tidak ada manusia yang memiliki tanah ciptaan Tuhan. Sebab Tuhan tidak mengeluarkan sertifikat hasil ciptaan-Nya (bumi) yang maha agung ini. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengatakan ada orang yang menjadi ‘tuan tanah.’ Pada hal seluruh tanah di dunia ini adalah milik Tuhan. Dialah pemilik sertifikat tanah dunia ini.
Seperti ilustrasi berikut ini; di mana orang kaya yang memiliki banyak uang dan harta benda. Suatu hari, disebuah pertemuan, Andreas mengatakan betapa enaknya Judas yang kaya raya itu. Bayangkan saja, di daerah Rumbai, ada tanahnya berhektar-hektar luasnya. Di Panam ada lagi tanahnya di samping Universitas Riau, di Marpoyan tanahnya puluhan hektar, belum lagi yang di Palas ada sekitar belasan hektar. Selain itu di Pasir Putih dan di Sigunggung tanahnya ratusan hektar. Bisa dikatakan bawa Judas adalah tuan tanah. Di mana-mana ada tanahnya.
Sementara aku, kata Andreas, hanya memiliki sepetak tanah dengan luas 15x20 meter saja. Dan tanah seluas ini hanya bisa kubuat rumah sederhana. Hanya inilah tanahku. Sungguh berbeda dengan Judas. Dia bisa membuat apa saja di atas tanahnya itu. Dia juga bisa membuka usaha, seperti kebun sawit di tanahnya itu, sedangkan aku, hanya mampu membuat sebuah rumah sederhana pada luas tanah yang kumiliki itu.
Suatu hari, Daud muncul di tengah-tengah kegusaran Andreas. Kita sebenarnya tidak perlu gusar. Kita tidak perlu minder, apalagi harus sampai berputus asa. Engkau, Anderas sama saja dengan si Judas itu. Kalau persoalannya si Judas jadi juragan tanah, tidak benar sesungguhnya. Sebab pemilik tanah itu bukanlah Judas. Kita semua hanya sebagai pengelola tanah itu. Sementara pemilik yang menciptakannya adalah Tuhan. Kita hanya dipinjamkan selama di dunia ini saja.
Manusia tidak pernah memiliki dan membuat tanah. Manusia tidak mampu menciptakan sendiri tanah. Dan Tuhan memberikan kepada manusia untuk mengelola tanah ini untuk kehidupan manusia itu sendiri.
Judas tidak bisa mengklaim dirinya pemilik dan pencipta tanah itu. Kalau Tuhan berkehendak lain pada dunia ini, seluruh ciptaan-Nya ini bisa diambil-Nya kembali. Seluruh ciptaan-Nya ini bisa dimusnahkan lagi.
Contohnya ketika Tuhan murka melihat dosa manusia. Bumi sebagai ciptaan-Nya ini di zaman Nabi Nuh pernah ditutupi air bah. Seluruh isi bumi musnah, kecuali Nuh dan keluarga serta seisi kapalnya yang selamat. Jadi tidak ada yang perlu diprustasikan apalagi sampai menganggap diri lebih hebat karena dipercaya memiliki tanah yang luas. Sebab tanah itu bukan miliknya.
Namun sayang, ketika manusia sudah dipercaya mengelola tanah ciptaan Tuhan ini, manusia lupa diri. Manusia merusak alam. Manusia merusak rumahnya sendiri. Manusia sudah tidak bersahabat lagi dengan alam. Manusia membuang limbah sesukanya, membakar hutan dan lahan yang akhirnya kita menikmati asap yang saban tahun melanda Riau.
Manusia tidak pernah sadar. Manusia terlalu rakus yang akhirnya mendatangkan bencana pada dirinya. Seharusnya manusia mengusahakan lingkungan alam tempat tinggalnya tetap asri dan memberikan kehidupan yang sehat, tetapi akibat keserakahannya, manusia merusaknya.
Di samping itu juga, manusia mencari jalan pintas, memberikan bahan-bahan kimia berupa pupuk dan pestisida secara berlebihan pada tanamannya. Tanaman padi, buah-buahan dan sayur-sayuran cepat berbuah karena dipaksa tumbuh cepat oleh bahan kimia tersebut.
Manusia tidak sadar dari ulahnya itu merusak alam dan mengakibatkan penyakit baginya. Padi yang seharusnya panen sekali atau dua kali setahun, kini bisa empat kali setahun. Buah-buahan yang seharusnya panen sekali setahun bisa tiga kali setahun.
Alam dipaksakan terus untuk berproduksi. Akibatnya tanah menjadi rusak dengan banyak bahan kimia. Tanah yang dulunya subur dengan pupuk dari dedaunan yang membusuk menjadi rusak dan gersang.
Lebih parah lagi, hewan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi sumber lauk pauk dan protein bagi manusia dikarbit. Ayam menjadi berumur pendek. Dengan pemberian bahan kimia berlebihan, ayam saat ini sudah bisa dikonsumsi manusia umur satu bulan.
Manusia tidak sadar sedang mendatangkan penyakit dan bencana bagi dirinya. Seluruh yang diciptakan Tuhan dikarbit dengan bahan kimia oleh manusia. Akibatnya, manusia yang mengonsumsi yang dihasilkan bumi itu menjadi sumber penyakit. Berbagai penyakit ganas mengintai kehidupan manusia karena manusia tidak mampu mengelola alam secara bijaksana.
Manusia sudah terlalu serakah, ingin instant, ingin menguasai, ingin menaklukan yang lain demi keinginannya walaupun itu merusak alam. Segalanya ingin cepat, yang mengakibatkan manusia itu tidak pernah mensyukuri berkat.
Sebelum semuanya itu terlambat, ada baiknya kita renungkan kutipan ayat Alkitab berikut ini; Kejadian 1:11-12,24,29-30 ; Berfirmanlah Allah: Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi. Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
Berfirmanlah Allah; hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup. Lihatlah aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji, itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya. Selamat hari Minggu, Tuhan memberkati kita.***

Erwin Hartono, S.Pd
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

Senin, 14 September 2009

Mata yang Kudus


Diterbitkan di Harian Metro Riau (Minggu 12 Juli 2009)


Mazmur 17:2,8 mengatakan; “Dari pada-Mulah kiranya datang penghakiman; mata-Mu kiranya melihat apa yang benar, peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu.”
Lewat renungan ini, mengajarkan kita bahwa peran salah satu anggota tubuh kita, mata sangat berguna dalam memandang yang adil dan benar. Mata adalah salah satu anggota tubuh kita yang sangat berharga. Namun demikian, semua anggota tubuh lainnya sama berharganya bagi kehidupan kita. Sebab Tuhan menciptakan anggota tubuh kita saling berkaitan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri yang tidak bisa diukur yang satu lebih penting daripada anggota tubuh yang lain. Anggota tubuh kita memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing.
Mata diciptakan Tuhan kepada kita untuk dapat melihat keindahan ciptaan-Nya ini. Mata diberikan Tuhan pada manusia untuk dapat memelihara dan menjaga kelangsungan kehidupan di bumi ciptaan-Nya. Bukan malah kita merusak fungsi mata itu sendiri. Tak jarang orang memanfaatkan matanya untuk hal yang negatif, misalnya mata digunakan untuk melihat nomor-nomor judi, melalui mata juga nafsu manusia timbul, ingin menguasai, melihat rimbunnya hutan dan timbul pembalakkan liar, melihat aliran sungai yang jernih, maka terpikirkan dan terlaksanakan pembuangan limbah ke sungai.
Pada hal mata itu begitu penting fungsinya. Tapi sayang, terkadang keberadaan mata itu tidak kita pelihara untuk melihat dan memandang secara kekudusan. Sedetik saja mata kita tidak bisa melihat, misalnya ketika sedang mati lampu malam hari tentu saja dunia ini sangat gulita sekali. Kita tak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi pandangan gelap seperti itu.
Tanpa kita sadari betapa Tuhan telah merancang anggota tubuh kita itu indah. Termasuk keberadaan mata. Tuhan memandang manusia itu perlu melihat keindahan alam ciptaan-Nya. Tuhan merasakan akan mewariskan dunia ini pada manusia. Tuhan menempatkan manusia itu seperti memelihara biji mata, sebab kalau saja ada benda yang masuk ke mata kita tentu sakitnya luar biasa. Kita tentu akan menjaga supaya mata kita jangan dimasuki benda-benda.
Begitu juga sebenarnya, Tuhan sangat merasa kecewa ketika mata yang dijaganya sebagai manusia merusaknya. Manusia tidak lagi menggunakan mata sebagai ciptaan untuk melihat yang kudus, adil dan benar. Kita selalu tertarik melihat penyimpangan yang menari-nari di depan mata.
Korupsi awalnya bersumber dari penglihatan mata kita. Mata kita tidak tahan melihat tumpukan uang yang bukan milik kita. Mata juga selalu mencari celah bagaimana melakukan kejahatan lainnya.
Penyimpangan perilaku, seperti perselingkuhan juga bersumber dari penglihatan. Seperti sebuah kisah berikut ini; seorang mantan pejabat di salah satu kabupaten di Provinsi Riau, pada mulanya pejabat ini adalah seorang bapak dan kakek yang baik di mata isterinya. Bahkan dia menjadi tokoh gereja, dia menjadi panutan di gerejanya.
Namun seiring perjalanan waktu, berkat penglihatan yang tidak dipelihara secara sungguh-sungguh, akhirnya dia tertarik dengan perempuan lain. Dia telah menduakan mata hatinya pada perempuan lain selain pada isterinya. Si pejabat memang selalu tugas luar kota, sementara isterinya tinggal di kota yang lain. Barang kali karena lebih banyaknya si pejabat berada di luar kota inilah yang membuatnya tidak tahan dengan godaan penglihatan.
Akhirnya, dia menyerahkan penglihatan jasmaninya yang bermain, dan dia mulai tertarik dengan perempuan lain itu. Memang godaan penglihatan begitu besar. Uang punya, jabatan punya, akhirnya perempuan lain itu dinikahi secara kumpul kebo, nikah sirih atau isteri simpanan atau apapun namanya. Keberadaan perempuan lain ini pun tidak diketahui isteri dan anak-anaknya. Memang kalau ada pejabat yang berselingkuh senter pemberitaannya lewat media. Namun ini tidak terjadi karena si pejabat pintar menyiram wartawan.
Tetapi di akhir jabatannya atau memasuki masa pensiun barulah terungkap kisah ‘tali airnya’ (perselingkuhannya). Orang-orang banyak yang tak menyangka, apalagi melihat sosok si pejabat yang rajin ke gereja bersama keluarganya. Selain itu juga, orang merasa tidak yakin bahwa si pejabat yang mereka ketahui taat beribadah itu melakukan penyimpangan, ditambah lagi karena si pejabat sudah menjadi seorang kakek, istilahnya sudah bau tanah.
Namun apa boleh di kata, semuanya berasal dari godaaan penglihatan mata. Si pejabat tidak menguduskan matanya walaupun dia rajin ke gereja, tetapi tidak pernah membuka mata hatinya dan meyerahkan penglihatannya seturut dengan firman Tuhan. Sehingga mata hatinya selalu buta. Dia menganggap dirinya berkuasa, dia menganggap segala perbuatannya tidak akan diketahui orang lain, apalagi oleh isterinya. Bahkan ketika dia menghadiri sebuah sidang perceraian anak perempuannya, lagi-lagi pandangan mata dunianya membutakan mata hati dan nuraninya.
Dia menganggap si suami anaknya salah dan hanya sebagai sampah, dia melihat si suami anak perempuannya itu tidak ada apa-apanya. Dan dia menganggap si suami anaknya harus tunduk pada anak perempuannya. Keinginan pandangan matanya telah menghancurkan rumah tangga anak perempuannya.
Keinginan matanya juga telah menghancurkan reputasi nama baiknya. Sebagai penetua di gereja, dia menjadi bahan gunjingan orang walaupun tak disadarinya, sebab orang seperti ini tidak ada malunya lagi. Karena tidak tahu malu itu, akhirnya terus saja kesombongan menguasai hidupnya.
Hal padangan mata ini pun ditularkan kepada anak perempuannya. Sehingga anak perempuannya setelah berumah tangga pun selalu menggunakan mata jasmani tanpa pernah menggunakan mata rohani. Tidak pernah menghidupkan mata hatinya. Dia menganggap suami sebagai pelengkap hidup saja. Si anak perempuan sang mantan pejabat ini tidak lagi melihat firman dalam konsep hidupnya.
Dia menganggap lelaki sebagai yang harus ditundukkan. Bahkan si suami pun ikut dianggapnya sampah. Ini terbukti dari setiap kali terjadi pertengkaran, kata-kata makian dan carutan kerap dilontarkannya kepada suaminya. Hingga akhirnya si suamilah yang harus tunduk pada isteri. Sementara dalam firman Tuhan dikatakan, “hai isteri-isteri tundukklah pada suamimu.”
Akhirnya pandangan mata dunia yang selalu membawa kesombongan, di mana kesombongan selalu membawa kehancuran pun terjadi. Keluarga ini akhirnya harus berakhir di pengadilan sebagai bentuk perceraian. Mata dunia terlalu mendominasi di dalam diri si perempuan ini, tanpa mau melihat firman dan orang di sekelilingnya. Individualnya muncul sebagai bentuk kesombongan dan keegoannya.
Hal menggunakan mata yang tidak kudus ini juga sering terjadi di tempat kerja. Kita selalu memandang syirik kepada orang lain yang sukses melebihi kita. Kita selalu melihat pekerjaan dan perkataan orang lain itu salah dan menganggap diri selalu benar. Mata dunianya telah berkuasa sehingga mata hatinya dibutakan. Kesombongan akan muncul dari orang-orang yang membutakan mata hatinya.
Kalau kita tidak menggunakan mata secara kudus, kita tidak akan bisa melihat segala persoalan dengan mata hati secara jernih. Kesombongan akan keluar dari orang-orang yang tidak bisa membuka mata hati.
Di sisi lain, mata yang kudus selalu berdasarkan pertimbangan di dalam memutuskan dan menyelesaikan persoalan. Mata yang kudus mampu menghidupkan mata hati dan diteruskan ke nuraninya. Dia melihat persoalan dengan kacamata firman Tuhan.
Alkitab menjadi pandangan matanya. Ajaran Tuhan Yesus menjadi pelita di dalam kegelapan sehingga dia mampu melihat walaupun dalam keadaan gelap gulita. Seperti orang buta. Walaupun matanya buta, namun mata hatinya tetap bercahaya dan mampu melihat. Demikianlah kalau mata kita selalu kudus.
Terkadang memang seseorang yang menguduskan matannya, besar godaan dunia yang menjadi batu ujian. Bayangkan beragam kejahatan berseliweran di mata dunianya. Berbagai perempuan yang cantik jelita bermain di retina matanya yang cukup menggoda.
Lewat sinar mata yang kudus akan lahir penglihatan yang membawa kedamaian. Kita hendaknya selalu menjaga mata kita untuk berbuat yang adil dan benar. Kita hendaknya selalu membuka mata hati ketika mengambil keputusan.
Seorang pemimpin yang terpilih dalam Pilpres 2009-2014 hendaknya mampu membuka mata hatinya. Seorang presiden yang terpilih hendaknya mampu menguduskan penglihatannya dalam mengatasi persoalan bangsa Indonesia secara benar dan adil sesuai dengan firman Tuhan. Semoga siapapun presiden Indonesia mampu membawa kesejahteraan lewat mata yang kudus dalam melihat beragam persoalan.
Kita hendaknya memelihara penglihatan yang kudus. Sedetik pun jangan kita berikan kesempatan kepada begitu banyak godaan yang hanya akan merusak kehidupan kita. Tuhan memberkati, selamat hari Sabat.***
Erwin Hartono, S.Pd
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

Bahagia dan Sedih


Dimuat di Harian Metro Riau (Minggu 5 Juli 2009)

Sudahkah kita bahagia dalam hidup ini? Atau teruskah kita ditekan kesedihan dalam kehidupan ini? Kebahagiaan terkadang sangat tipis batasnya dengan kesedihan. Seseorang dikatakan bahagia dan sedih bisa dilihat dari raut wajahnya. Namun kalau ditanya dalam diri kita dalam hidup ini; banyak bahagia atau lebih banyak sedihnya. Tentu kita akan mengatakan banyak sedihnya.
Terkadang ketika kita naik kelas, naik pangkat atau jabatan, diterima kerja di sebuah perusahaan atau instansi, mendapatkan isteri yang baik, mendapatkan anak, mendapatkan rezeki uang berlebih dan lain sebagainya, kita merasa bahagia. Kita merasakan nyamannya hidup ketika mendapatkan semua itu. Bahkan kebahagiaan yang baru saja kita terima itu tidak pernah kita syukuri, malah yang timbul adalah sifat masih kurang. Hidup kita selalu saja dikungkung rasa kekurangan.
Kebahagiaan yang diberikan kepada kita itu masih saja ada yang kurang. Terus kekurangan inilah menjadi ukuran seseorang itu bahagia atau tidak. Walaupun kita telah mendapatkan berkat-berkat yang kita cita-citakan tetapi rasa bahagia kita masih belum lengkap bila ini dan itu belum terpenuhi dan tercapai. Kita sudah mulai mencinta harta benda, yang menganggap semuanya itu mampu membahagiakan kita. Kita sudah menjadi makhluk yang cinta uang yang sangat dibenci Tuhan kita Yesus Kristus.
Kebahagiaan biasanya dihitung berapa banyak yang telah kita cita-citakan mampu terpenuhi. Kebahagiaan menjadi sebuah ukuran seseorang itu memperoleh kesenangan hidup. Sebab di tengah-tengah kebahagiaan itu masih ada ukuran. Hal ini lantaran sebagai manusia kita tidak pernah merasa puas.
Kebahagiaan terkadang bertubi-tubi datangnya, tetapi tidak pernah kita syukuri karena masih tetap kurang. Namun terkadang kebahagiaan malah tidak mau singgah pada kehidupan kita. Demikian juga dengan kesedihan terkadang datangnya beruntun. Belum hilang rasa sedih ini sudah menunggu rasa sedih itu. Kita tidak pernah melakukan introspeksi diri dan memperbaiki hidup yang kudus. Malah kita menjadi mengutuki diri sendiri akibat kesedihan yang menindih hidup kita begitu bertubi-tubi.
Ada orang lain yang bisa membuat kita bahagia. Baik itu pasangan, sahabat, uang, atau bahkan hobi. Semua itu tidak bisa membuat kita bahagia. Karena yang bisa membuat kita bahagia adalah Tuhan dan pilihan diri kita sendiri.
Kalau kita sering merasa berkecukupan, tidak mempunyai perasaan minder, selalu percaya diri, maka kita tidak akan merasa sedih. Sesungguhnya pola pikir kita yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar.
Contohnya Rasul Paulus. Ketika itu Rasul Paulus sedang dihimpit oleh keadaan. Ia disiksa dan dipenjara, ditolak kanan kiri. Tapi coba lihat surat-suratnya. Apakah berisi keluh kesah? Justru sebaliknya!
Sebagian besar surat-surat Paulus justru berisikan motivasi, berita gembira dan inspirasi. Rasul Paulus bahagia. Meskipun keadaan sekelilingnya bisa membuatnya tidak bahagia, namun ia memilih untuk berbahagia.
Bahagia atau tidaknya hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa kaya, seberapa cantik istri, atau suksesnya hidup kita. Ini masalah pilihan: apakah kita memilih untuk bahagia atau tidak. Kita bisa mengendalikan diri kita sendiri dalam memilih respon yang akan kita berikan terhadap kondisi luar.
Bahkan terkadang kita malah lebih picik lagi dengan merasa bahagia melihat penderitaan orang lain. Kita merasa puas bila saingan kita dalam kerja mendapatkan masalah, kita merasa sangat bahagia bila kita lebih kaya daripada orang lain. Kita pun merasa bahagia bila melihat tetangga dan orang di sekitar kita mengalami kesulitan hidup.
Hal ini merupakan rasa bahagia yang salah. Namun tidak bisa kita pungkuri dalam hidup ini bahwa terkadang kita memang merasa sangat bahagia melihat orang-orang di sekitar kita menderita.
Lain lagi dengan seseorang dikatakan setelah berumah tangga bahagia. Menikah adalah saat indah yang ditunggu-tunggu orang. Apalagi jika menikah dengan orang yang tepat, kebahagiaan terasa lengkap.
Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan berita media massa tentang seorang mantan model cantik yang melarikan diri dari suaminya, yang notabene seorang bangsawan Kerajaan Malaysia. Seorang suami yang memiliki kekayaan berlimpah yang sudah tentu dipikiran kita bakalan senang dan bahagia dalam hidup. Ternyata berlainan, kebahagiaan bukan ditentukan oleh harta benda, kebahagiaan bukan ditentukan oleh kecantikan dan ketampanan. Hal ini menjadi berita yang menghebohkan.
Banyak orang ingin menikah dengan orang yang sukses, kaya dan berdarah biru dengan harapan memiliki masa depan yang mapan, terjamin dan nyaman. Bahkan ini menjadi ukuran kebahagiaan beberapa wanita bila akan dinikahi lelaki.
Tetapi tidak semua keinginan kita bisa terpenuhi. Apa yang menurut kita terbaik belum tentu benar-benar yang terbaik. Kenyataan bisa tidak sesuai dengan harapan. Bahkan kenyamanan mantan model tersebut justru diperlakukan layaknya "properti" sang suami.
Bahkan menurut pengakuannya di beberapa media, ia kerap disiksa secara mental dan fisik. Hal-hal itulah yang membuatnya melarikan diri dari suaminya. Orang yang dikira kekasihnya justru menyakitinya. Sangat pedih dan menyayat hati. Kebahagiaan yang dulu sempat diimpi-impikan pasangan model ini ternyata hanya berisi kesedihan dan kepahitan semata. Tidak pernah terlintas dipikiran akan berakhir seperti ini. Apalagi keduanya merupakan orang-orang terhormat. Hal inilah yang membuat benang merah antara bahagia dan sedih itu.
Sementara di sisi lain, sebuah kesaksian yang mengalami pelecehan dari isteri dan keluarga isterinya. Dalam rumah tangganya selalu ada ketidakcokcokan, sering cekcok dan sering caci maki yang menghiasi hari-harinya.
Si istri tidak tunduk kepada suaminya, seperti tertulis di Alkitab, malah menjadi yang berkuasa dari suaminya. Kata-kata orang tuanya membuatnya tersesat dan akhirnya kebahagiaan rumah tangga itu rubuh akibat pondasi keras kepala yang dimiliki si isterinya tersebut.
Kebahagiaanya bila mampu menekan suami, kebahagiaannya bila melihat suami menderita, kebahagiaannya bila bisa memisahkan keluarga besar suaminya. Ia sangat senang melihat seluruh keluarga suaminya menderita.
Si isteri pun dalam hidupnya memiliki konsep hanya ingin menerima dan tidak mau memberi. Pada hal konsep kebahagiaan si suami adalah hendaknya lebih banyak memberi dalam hidup ini. Kesederhanaan hidup dan ketidak-sombongan yang dicita-citakan si suami tenggelam dan akhirnya keluarga itu hancur berantakan.
Ternyata kebahagiaan itu sangat tipis bedanya dengan kesedihan. Menikah memang merupakan kebahagiaan, namun di balik semuanya itu sedang menunggu kesedihan bagi sebagian kita. Atau lantaran kita kurang membuka diri dengan orang di sekitar kita sehingga kebahagiaan itu tidak pernah kita syukuri. Hanya melihat berdasarkan kaca mata individu.
Kesedihan bisa menular dan menurunkan semangat orang lain, apa lagi jika yang sedih itu adalah pemimpin. Kita tidak bisa memungkiri bahwa respon kita terhadap kesedihan mempengaruhi orang lain, apakah itu akan melemahkan atau membangkitkan semangat orang lain.
Beban berat itu bisa dipikul. Bagaimana caranya? Pertama, kita membutuhkan teman yang benar-benar jujur dan bisa mendorong kita untuk berjalan maju dalam hidup ini. Teman-teman seperti ini perlu waktu untuk ditemukan, dan jika sudah ada, hubungan itu harus dipelihara. Apakah kita sudah mempunya teman seperti itu?
Kedua, kita membutuhkan sang Penyelamat yang bisa diandalkan. Setiap orang tidak mungkin bisa memahami dan menjalani beban yang berat tanpa bantuan Tuhan. Ketiga, kita membutuhkan keyakinan yang tidak bisa digoyahkan apapun.
Ukuran kebahagiaan bukanlah pada sebuah benda yang sangat ingin kita miliki akhir-akhir ini? Benarkah kita sangat memerlukannya atau sekadar ingin punya? Bisakah kita hidup bahagia tanpanya? Memiliki harta benda tidaklah salah, tetapi jangan biarkan ia memiliki kita. Jangan sampai kepuasan dan kebahagiaan hidup kita ditentukan olehnya.
Sebagai bahan renungan minggu ini tertulis pada, 1 Timotius 6:8-10; “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar dari segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka (kesedihan).” Tuhan memberkati. ***
Erwin Hartono, S.Pd
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)

Dosis Kasih yang Tulus


Diterbitkan di Harian Metro Riau 28 Juni 2009

“Kasih ….. tidak mudah tersinggung atau jengkel atau marah; tidak memperhitungkan kejahatan yang diterima – tidak menaruh perhatian atas kesalahan yang dideritanya, tidak bermegah diri, dan tidak sombong.“
Sebenarnya berjalan dalam kasih itu baik untuk kesehatan kita, tahukan kita akan hal itu? Kasih yang tulus dan sesungguhnya tidak pernah mengharapkan apa-apa. Seorang mengasihi berarti dia menaruh perhatian dan tidak mengharapkan imbalan dan balasan dari orang yang dikasihinya.
Namun terkadang di dunia ini, kita sering mendengarkan orang mengasihi, teman-teman mengatakan karena kasih si A bisa naik kelas, karena kasih dia bisa diterima kerja di sini, karena kasih dia bisa menyandang jabatan itu dan lain sebagainya. Tanpa menyadari secara mendalam dan sesungguhnya tentang kasih itu.
Seorang pimpinan dalam perusahaan atau lembaga dan instansi terkadang di dalam memberikan motivasi kerja (menuntut kewajiban) berdasarkan kasih kepada bawahannya. Namun setelah karyawan atau bawahannya akan menerima hak-haknya sebagai pekerja kebanyakan pengusaha, lembaga atau instansi menutup mata dengan ‘kasih’ ini. Bahkan kalau bisa tenaga bawahan diperas habis-habisan dan menekan upah serendah-rendahnya.
Namun anehnya si pengusaha, bos atau pimpinan dalam memotivasi pekerjanya terus mendengungkan kata-kata kasih. Pada hal di dalam dirinya masih berkecemuk ‘realitas kecurangan’ dan ketidak-relaan memberikan upah yang seharusnya diterima karyawan atau bawahannya itu. Pada hal jelas-jelas kasih itu tidak memperhitungkan, kasih itu rela dan tulus, kasih itu tidak merahasiakan, kasih itu bukan memeras dan kasih itu sesungguhnya adalah indah kalau terealisasi.
Tetapi saat ini, kasih yang sesungguhnya sangat jarang kita temukan. Kasih hanya sebatas ucapan semata. Bahkan orang-orang yang mengucapkan kata kasih itu sendiri hanyalah topeng pada saat ini.
Para bos, atasan atau pimpinan di sebuah perusahaan atau lembaga masih mempunyai perhitungan angka-angka untuk mengeluarkan upah pada anak buah. Pimpinan masih saja otoriter dan selalu menganggap dirinya benar sementara anak buah selalu salah. Ini menandakan egoislah yang muncul. Dan ini sangat bertentangan dengan kasih yang dimaksud dalam kekristenan.
Seharusnya seorang pimpinan atau bos baik itu diperusahaan, lembaga, atau instansi menerapkan kasih yang sesungguhnya. Jangan hanya ucapan dimulut saja. Apalagi kalau bos atau pimpinan itu seorang yang hidup di tengah-tengah Yesus Kristus tentu jangan sampai kata-kata dari mulutnya tentang kasih sementara dirinya masih ada ego, masih ada marah, jengkel dan permusuhan (baik permusuhan pendapat maupun permusuhan badan).
Pada hal kita tahu bahwa kasih itu baik untuk kesehatan. Itu benar! Ilmu kedokteran telah membuktikannya, para peneliti telah menemukan bahwa permusuhan menghasilkan stress yang hanya mendatangkan tukak lambung, sakit kepala yang menegangkan dan sejumlah sakit lainnya.
Bila kita berpikir tentang permusuhan, kita mungkin berpikir tentang jenis kemarahan yang kita rasakan tentang sesuatu yang serius terjadi. Tetapi menurut para pakar, jenis itu bukanlah penyebab masalah yang terburuk. Justru hal-hal kecil: Bila pembatu merusakkan sepatu kita ketika menyemir sepatu mencuci atau bila pramusaji mencampur sambal pada makanan kita padahal kita tidak suka pedas, hal itu lazim bukan…? Kasih akan hilang dari ucapan kita dan berganti caci maki dan marah.
Pikirkanlah berapa banyak ketegangan yang dapat kita hindari dengan bersikap lekas memaafkan, dengan menghayati hidup kita menurut 1 Korintus 13 dan tidak memperhitungkan kejahatan yang dilakukan terhadap kita. Bayangkan manfaaat fisik dan emosi dari kehidupan seperti itu!
Jika kita membiarkan diri terbiasa dibelenggu oleh permusuhan, itu mungkin terdengar seperti impian yang mustahil, tetapi sebenarnya tidak!, Karena sebagai orang yang percaya yang dilahirkan baru, kita memiliki kasih Tuhan dalam diri kita.
Jika kita pasrah pada kasih itu, maka itu akan memerdekakan kita, ingatlah ketika Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus dari kuburnya? Lazarus hidup tetapi masih terikat dengan kain kafan. Tuhan Yesus memerintahkan agar ikatannya dilepas sehingga dia dapat bebas berjalan.
Yesus menginginkan kebebasan yang sama bagi kita. Jadi, bersepakatlah dengan Dia. Katakanlah pada kebiasaan maut yang mengikat kita, “Dalam nama Yesus lepaskan aku dan biarkan aku pergi! Aku menaruh sikap permusuhan, sikap tidak memaafkan dan keserakahan di belakangku. Aku akan menghayati Kehidupan Kasih!”
Dosis kasih yang tulus tidak berpura-pura, kasih yang tidak bertopeng dari ucapan saja, kasih yang tidak egois dan ingin menang sendiri yang menganggap diri benar dan orang lain itu salah, kasih bukanlah menjadi bahan ucapan semata-mata. Kasih yang sesungguhnya adalah penerapan pada kehidupan bukan ucapan.
Buatlah dan tanamkanlah akar kasih yang sesungguhnya. Jangan suka mengata-ngatai orang lain, jangan suka bertengkar, jangan egois, jangan suka mengadu domba, jangan suka menganggap diri yang benar, sebab itu hanyalah perbuatan kesia-siaan yang tidak berdasarkan kasih sesungguhnya.
Ingatlah: Tidak diperlukan suatu mujizat pengobatan untuk mengubah kehidupan kita. Yang diperlukan hanyalah sebuah keputusan untuk pasrah pada kekuatan Kasih. Lakukan hal itu dengan benar hari ini, dunia akan indah seperti taman firdaus.
Sebagai bahan renungan bagi kita (1 Korintus 13 dalam beberapa ayatnya berbunyi; sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing; kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong; Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain dan kasih tidak berkesudahan)
Hanya dalam kasihlah kehidupan yang indah terukir. Selamat hari Minggu, Tuhan memberkati.***

(Erwin Hartono, S.Pd)
(Guru di Yayasan Pendidikan Kristen Kalam Kudus Pekanbaru)